Tarian Bintang, Butak via Princi DAU

Jarang ada yang tau tentang gunung satu ini. Aku saja, baru kenal setelah beberapa bulan tinggal di Malang. Gunung Panderman lebih dikenal dari pada Butak karena waktu tempuhnya sebentar akan tetapi view di atas indah. Hanya 2,5 jam sampai puncak jika berjalan cepat. Ketinggiannya, pun, hanya 2000mdpl. Sedangkan Butak 2868mdpl. Selisih 800m dengan Panderman. Jarak tempuhnya, pun, tentu jauh lebih lama. Jika via Panderman, waktu yang dibutuhkan untuk sampai sabana sekitar 9-11 jam. Via Sirah Kencong, Blitar, butuh waktu sekitar 8-9 jam. Sedangkan via Princi, Dau, sekitar 7-9 jam.

Princi menjadi pilihan jalurku menuju sabana. Sebelumnya aku pernah mengambil jalur via Panderman yang dominan landai serta melewati hutan yang panjang. Akan tetapi belum sampai sabana. Timku lemah dan kami minim persiapan. Akhirnya kami berhenti di tanjakan terakhir yang kebetulan juga waktu itu baru saja terbakar habis. Kami kewalahan karena minim logistik, serta trek berdebu yang bercampur asap bekas kebakaran dan abu kayu. Karena pengalaman ini, aku belajar banyak, serta mencoba berjalan melalui jalur yang berbeda, Princi.

Jumat, 15 April 2016, kami memulai perjalanan dari Desa Princi, Gadingkulon, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, pukul 16.25. Timku terdiri dari 5 laki-laki seumuran. Tyo, pemimpin jalan, Teknik Elektro UB, pernah mendaki Lawu, Arjuno, Panderman. Bagus, teman sekamarku dulu saat masih di pesantren, FK UB, pernah mendaki Butak dan Panderman. Fais, juga teman sekamarku saat di pesantren, Teknik Industri UMM, pernah mendaki Penanjakan, Panderman, serta Sindoro. Naufal, Ekonomi UB, eks Impala UB, pernah mendaki Butak dan Semeru. Lalu aku, pendaki amatiran, paling belakang.


Jalur yang kami lewati bukanlah jalur populer dan resmi. Jarang sekali pendaki yang memilih jalur ini karena aksesnya sulit, serta trek yang tanpa ampun. Sehingga tidak ada tiket retribusi seperti halnya jalur panderman dan sirah kencong. Kendaraan kami titipkan di rumah warga, rumah terakhir sebelum akhirnya kami berjalan. Pemanasan dan berdoa, setelah itu mulai berjalan. Tyo di depan. Trek awal berupa jalanan makadam, melewati perkebunan warga. Akan ada beberapa persimpangan. Pertigaan pertama, belok ke kanan, ada penunjuk jalan menuju Coban Parangtejo. 

Setelah memasuki trek tanah, ada perempatan, jika ke kanan, maka kembali ke Princi, jika ke kiri, menuju Coban Parangtejo, lurus menuju puncak. 


Mulai dari sini trek mulai menanjak. Berdebu saat kemarau dan licin saat penghujan. View di sebelah kiri berupa cerukan lembah yang menakjubkan. Beruntung tidak ada kabut waktu itu. Hanya mendung tebal di atas, menutupi puncak.

Setelah itu, akan ada pertigaan lagi. Ke kiri ke arah bawah, entah menuju mana. Dan lurus menuju puncak. 


100 meter dari pertigaan,  jalanan mulai menyempit, lalu masuk ke dalam hutan yang rimbun. Kami sempat ragu disini. Bermodalkan sholawat, kami melanjutkan perjalanan. 


Kami berjalan mengikuti semacam sungai kecil dengan aliran air yang lumayan deras di sisi kanan dengan kontur landai. 


Setelah itu akan ada penunjuk jalan ke kanan, ke puncak, menyebrangi sungai kecil tadi. Kami menelan ludah. Treknya bagai tersenyum sinis kepada kami. Menanjak dengan kemiringan sekitar 75° dengan medan berupa tanah yang licin.

Tidak bisa tidak, kami lewati jalan menanjak itu. Tyo, Bagus, dan Naufal lewat. Fais tertahan. Tidak ada tanah berundak, rata namun miring, licin pula. Tapi bagaimanapun tetap lewat. Kami belum setengah perjalanan. Begitu selanjutnya. Jalanan terus menanjak, sempit, serta licin. Beberapa kali kami istirahat. Meluruskan kaki dan membenarkan nafas yang tersenggal. Sudah berjalan sekitar 2 jam melewati tanjakan itu, tas kecil milik Fais yang digantungkan di carrierku yang dibawa oleh Bagus, hilang. Waktu itu paha kanan Fais keram, butuh salonpas yang ada di tas kecilnya, dan sadar, ternyata tasnya sudah tidak ada. Aku dan Tyo turun kebawah mencarinya, siapa tahu terjatuh dan masih belum jauh. Yang lain menunggu di atas. Alhamdulillah. Saat aku dan Tyo hampir putus asa karena sudah turun jauh, tasnya ketemu. Kami berdua kembali keatas, menyusul Bagus dan yang lain, lalu kembali menghadapi trek menanjak yang entah kapan habisnya. Kami terus berjalan. Bagus, Fais, dan aku, entah berapa kali terpeleset dan tersandung. Medannya sulit. Kami tidak bisa melihat tanah yang kami pijak karena semak-semak tinggi. Sempat juga, karena teledor, aku terperosok 2m ke arah kiri. Pasrah waktu jatuh, tapi setelahnya malah jadi lelucon.

2,5 jam berjalan, jalanan mulai sedikit landai. Namun tetap sempit dengan semak semak setinggi pinggul. Perutku terasa panas, dan pandanganku mulai kabur. Seharian belum makan, dan baru terasa sekarang. Aku minta berhenti, break, lalu makan roti. Setidaknya untuk pengganjal. Tidak mungkin memasak nasi saat medan seperti ini. Plan kami, makan di jalur temuan antara jalur via Princi dengan jalur via Panderman. Lumayan, 2 helai roti tawar mengembalikan kondisiku. Trek landai tidak lama, hanya sekitar 45-60 menit saja. Selanjutnya kembali menanjak namun medan lebih terbuka dan berundak. Pos di jalur ini hanya ada 3 saja. Itupun di spot yang tidak landai dan ditempel seadanya di pohon besar.

Entah jam berapa tepatnya aku lupa, kami bertemu jalur temuan via Panderman. Ditandai dengan pohon besar yang ditali dengan rumput gajah. Spotnya landai. Kami berhenti cukup lama. Makan nasi dengan mie instan, minum kopi, dan menghirup tembakau besuki. Lalu lanjut lagi. 2 jam berjalan, Naufal bilang sudah tidak ada tanjakan lagi. Trek mengitari lembah, di sebelah kanan jurang. Sekitar 30 menit, lalu masuk semacam hutan lagi, dengan vegetasi penuh dengan pohon Edelweis. Di malam hari pun terlihat sangat indah. Sayang, belum musimnya untuk berbunga. Setelah itu, sabana!

9 jam berjalan menanjak, lalu disambut dengan Padang Edelweis yang dilanjutkan dengan hamparan padang rumput yang sangat luas. Kami berteriak. Semacam ada energi yang bersumber entah darimana. Lelah kami hilang, berjalan dengan cepat menyusuri padang rumput yang sangat indah. Untukku, Bagus, dan Fais, ini pengalaman pertama melewati padang rumput. Lebih indah dibanding pada gambar-gambar di internet. Kanan-kiri dikelilingi bukit, lalu langit yang cerah tanpa awan sebagai satir, sehingga bintang-bintang merdu melambai-lambaikan senyumnya. Suara aliran air menjadi musik pengiring perjalanan melewati padang rumput. Aku merinding. Subhanallah, Allah dengan lembut menunjukkan kuasa melalui hasil tanganNya.

Kami segera mencari spot camp. Sudah ada sekitar 8-9 tenda yang berdiri di sekitar sumber air. Kami mendapat spot di samping aliran air kecil dan di bawah pohon. Pukul 02.00 tepat kami memasuki sabana, mendirikan tenda, sholat maghrib dijama' dengan isya', lalu tidur pukul 03.30. Aku, Naufal, dan Bagus satu camp, sedangkan Tyo dan Fais di tenda yang lain. Tidak ada rencana kapan kami akan summit attack. Yang penting, saat itu, istirahat. Kaki kami lelah.

Aku terjaga pukul 8 pagi. Yang lain sudah lebih dulu bangun. Menghirup udara pegunungan ditemani kopi dan snack. Kami sarapan roti dengan susu coklat kental manis. Lalu pukul 09.00, summit attack. Tyo tidak ikut. Barang-barang kami tinggal di tenda. Hanya trek pole, air mineral 1,5 L, dan kamera hp saja yang kami bawa.



20 menit, dan akhirnya kami berada di Puncak Butak, 2868 meter di atas permukaan air laut. Pukul 09.20. Cuacanya cerah. Awan berjajaran membentuk formasi menakjubkan. Gunung Semeru dan Arjuno samar terlihat di sebelah timur. Sedangkan di sisi barat, sepertinya, Kabupaten Blitar. Namun tidak terlihat karena tertutup awan awan kecil yang berjajaran seperti kawanan. Teriakan bahagia. Akhirnya kami sampai puncak. Dan apa yang alam suguhkan pada kami, membuat kami tak hentinya tersenyum puas.




Tak lama kami di puncak. 30 menit saja. Mengambil gambar untuk dokumentasi. Lalu turun, bebarengan dengan kabut datang, mengurangi panas karena sinar matahari. 7 menit aku sampai di sabana. Meninggalkan yang lain di belakang. Lalu kami makan. Lagi, nasi dengan mie instan, kopi hitam, dan nutrisari jeruk dengan air dingin khas pegunungan.

Merasa sudah cukup, saat matahari tepat di atas, pukul 12.30 kami turun dari sabana menuju basecamp. Berbeda dengan saat berangkat. 6 jam kami sudah sampai basecamp. Itu, pun, sudah termasuk istirahat cukup lama. Menyeduh air untuk kopi, memakan biskuit dan menghirup tembakau besuki yang kami bawa. Saat sudah kembali pada jalanan makadam, hari mulai gelap. Tak berlama-lama di basecamp, membayar jasa penitipan sepeda motor di rumah warga dengan tarif 10ribu per sepeda motor, lalu kami kembali ke bawah.
Dengan selamat serta bahagia...

Malang, 17 April 2016
Robith Alkholily


Komentar

Postingan Populer