Kopi Kolong Jembatan

"Aku bosan dengan kehidupanku. Kuliah, menghadap dosen yang membosankan, ngerjakan tugas yang tidak penting, ngopi di pinggir jalan, ah, aku butuh refreshing."

"Ayolah. Bukannya aku sudah sering mengajakmu mendaki gunung? Kamu tidak akan menyangka apa yang akan kau temui di atas sana. Sesekali cobalah."

"Jangan mendaki gunung, lah. Kau tau aku malas berjalan jauh. Ditambah jalan terjal penuh debu seperti itu. Memangnya tidak ada yang lain?"

"Cari saja sendiri."

Ali membuka hapenya.

"...aku masih tidak tahu akan apa yang harus aku lakukan dengan hubungan ini..."

Tangannya gemetaran menuliskan pesan tadi kepada seseorang di barat. Berusaha sebisa mungkin menyembunyikan gurat sedih di wajahnya. Tempat ini bukan tempat yang pantas untuk memperlihatkan kesedihan. Seharusnya banyak tawa, saling bertukar cerita tak masuk akal, atau, ya, hanya jadi penyimak saja. Yang penting, jangan tunjukkan bahwa kau sedang menangis. Memangnya hanya wanita saja yang menangis? Kelihatannya begitu. Tapi Ali juga menangis. Walaupun tanpa air mata. Diamnya adalah tangis, senyumnya adalah air mata, dan tawanya adalah pelarian.

Suara kendaraan menjadi musik pengiring sedihnya. Setidaknya Ali bisa menatap kendaraan yang lalu lalang. Agar matanya tidak perih, agar hatinya bisa menjerit.

"Hei, Li, semeru itu gunung tertinggi di Indonesia?"

"Bukan, Ra. Puncak Cartenz yang tertinggi. Semeru yang ke-4."

"Aku ingin kesana. Bukankah kata orang, Danau Ranu Kumbolo tempatnya sangat indah?"

"Ya, aku juga sangat ingin kesana. Memang sangat indah. Namun sungguh sia-sia kalau hanya sampai pada Ranu Kumbolo saja. Sekalian saja ke Mahameru."

"Butuh berapa lama dari tempat terakhir kita bisa menggunakan kendaraan?"

"Setauku, sekitar 9-10 jam untuk bisa sampai Mahameru."

"Cukup lama, ya. Tidak adakah yang langsung?"

"Ah, kau ini. Untuk mendapatkan keindahan, kepuasan, dan harga diri yang tinggi, tentu saja butuh waktu. Tidak sebentar, dan tidak mudah."

"Terlalu berlebihan, kau, Li. Bagaimana kalau dengan helikopter? Bisa?"

"Tentu saja. Memangnya berapa biayanya? Kau tau?"

"Ya lumayan. Mungkin aku harus makan sehari satu kali selama beberapa bulan untuk bisa menyewa helikopter. Hahahaha"

"Nah, bisa kau simpulkan sesuatu dari itu?"

Ara diam. Matanya mendapatkan sesuatu. Lalu bibirnya tertarik ke belakang.

"Kau benar. Apapun itu, jika berkaitan dengan kepuasan diri, tentu butuh usaha."

"Tapi,?"

"Tapi jika kita memang benar-benar punya motivasi kuat, usaha yang melelahkan tidak akan menjadi sebuah rintangan. Tapi akan menjadi batu loncatan yang akan membawa kita pada kepuasan itu. Tentu, hasilnya akan sebanding."

"Nah, maka dari...."

Mulut Ali tiba-tiba saja terdiam. Matanya mendapatkan sesuatu. Reflek, tangan Ali menutup wajahnya, mencoba mencerna apa yang baru saja dia dapatkan. Dengusan nafas Ali terdengar oleh Ara. Namun Ara memilih diam. Ara merasa, diam, adalah tindakan yang tepat saat ini.

'Kenapa aku begitu bodoh.' Ali memaki dirinya sendiri. 5 tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah hubungan jarak jauh. Hubungan yang tanpa tatap muka, tanpa suara, hanya coretan pena. Ali sadar, Ali akan berantakan, jika Ulya pergi meninggalkannya. Tapi, Ali tidak sanggup mengatakan apa yang sesungguhnya dia rasakan dan harapkan. Ali merasa, jika memang dia mencintai Ulya, maka tindakan paling tepat adalah membiarkannya meniti mimpinya, lalu mendoakannya.

"...janganlah jadi cemen. Ini bukan hanya tentangku, tetapi tentang kau juga. Bisakah kita bermusyawarah?..."

Ali tersenyum getir. Tatapannya serius pada layar handphone-nya.

"...bukankah sebenarnya kau sudah tahu, bahwa aku akan berantakan jika tanpa kau? Bukankah kau paham betul, bahwa perasaanku masih sama seperti beberapa waktu lalu? Dan bukankah kau mengerti, bahwa sesungguhnya aku tak ingin menyerah begitu saja? Serta, bukankah kau sudah mengira, bahwa aku akan pasrah denganmu, menuruti keinginanmu, membiarkanmu pergi? Bukankah kau lebih paham dariku, bahwa aku seperti itu, karena aku begitu mencintaimu? Ya, karena aku mencintaimu..."

Lampu di bawah jembatan satu persatu dimatikan. Memberi alarm, sudah tengah malam. Bising suara kendaraan yang lalu lalang juga tak sesering tadi. Penjual kopi mulai beranjak, mencuci cangkir-cangkir kotor, menatanya, lalu menarik gerobak mereka menuju rumah.

"Kurasa kita juga harus pulang."

"Ya, kita tidak boleh berlama-lama di tempat ini. Masih banyak yang harus kita selesaikan."

Kendalsari, Malang, 13 Oktober 2015

Komentar

Postingan Populer