Latar Ombo, Gunung Panderman

Sabtu, 2 April 2016. Gunung Panderman, lagi. Namun tak sampai puncak. Kami kewalahan mengatur waktu untuk belanja ini-itu, packing, dan koordinasi. Tadi malam, kami berangkat pukul 24.30 dari basecamp, dalam keadaan belum makan malam. Logistik juga hanya seadanya; mie instan 7, nasi matang, kacang kulit, kopi, dan yang pasti air mineral entah berapa botol yang masuk carrier. Satu kelompok 7 orang, 2 orang punya pengalaman pendakian. Sedangkan yang 5, masih amatir, dengan ciri khas pendaki amatir; semangat di awal, lalu baru saja berjalan beberapa menit sudah mengeluh.

Di hari sebelumnya, jum'at, siang hari tepatnya, kami rencanakan untuk naik malamnya. Jadinya mepet dan semrawut. Karena aku di pesantren, jam 8 malam baru aku bisa keluar dari tempat tinggalku. Sebenarnya, jika sebelumnya semua sudah belanja ini itu dan packing, pukul 10 kami sudah bisa mulai start. Mungkin karena sedikit menyepelekan, akhirnya pukul 23.30 baru kami berangkat. Dari kos teman. Manajemen waktu kacau. Beberapa kali harus mampir untuk beli logistik. Pukul 00.00 baru kamu sampai di basecamp.

Aku belajar banyak hal disini. Rencana mendadak boleh, tapi harus melihat dengan siapa kita akan mendaki. Jika anggota kita expert dan cepat, oke saja. Tapi seperti pengalaman kali ini, rasanya sudah cukup meng-iya-kan rencana mendadak untuk mendaki. Ya, walaupun hanya sebatas gunung kecil seperti Panderman. Saat berangkat, kami belum makan. Benar saja, baru 2 jam berjalan, salah satu diantara kami sudah gelimpangan. Beberapa kali seperti akan jatuh padahal trek masih agak landai dan dia tidak membawa beban sama sekali. Akhirnya kami berhenti. Katanya kepalanya terasa pusing, efek belum makan pikirku. Kami makan malam jam 2 dini hari. Setelah itu lanjut jalan lagi. Minim persiapan dan pengalaman, tetap saja dia kewalahan. Yasudah, break beberapa kali tetap tidak mengatasi, akhirnya aku mengajaknya turun kembali ke latar ombo. Camp disana, dan yang lain tetap lanjut. 3 orang turun kebawah termasuk aku. 2 orang lainnya sakit.

Perjalanan ke latar ombo yang sebenarnya bisa ditempuh 10 menit dengan sedikit berlari-lari kecil, karena minim penerangan ditambah kondisi badan tidak sehat, 30 menit kami baru sampai di latar ombo. Mendirikan dome, lalu langsung tidur. Aku tidur diluar tenda karena dome hanya berkapasitas 2 orang. Pengalaman kedua tidur tanpa dome di gunung, bahkan tanpa sleeping bag, tapi tidak terlalu dingin karena musim hujan. Langit juga cerah. Tetap dapat view indah. Bintang bertebaran. Bulan sabit jadi penerangan. Sedikit disayangkan tidak bisa camp di latar cilik atau di puncak. Namun keadaan seperti itu menamparku, bahwa dengan bersyukur, semua akan jadi lebih indah.

Panas. Aku terbangun pukul 09.00, matahari sudah muncul dari balik puncak basundara, di atasku juga tidak ada naungan pohon. Peregangan sebentar, melepas jaket dan sepatu, lalu jalan-jalan. Kedua temanku masih belum bangun. tak akan lama. Seperti didalam sauna jika tidur di dalam tenda yang langsung menghadap matahari. Dan benar, 10 menit kemudian mereka menyusulku keluar. Baju mereka basah keringat. Seperti dipanggang katanya. Kami pindah mencari tempat teduh. Tenda dibiarkan di tempatnya. Hanya matras saja yang dipindah, lalu tidur lagi, sambil menunggu kelompokku yang lain turun.

Sekitar pukul 10.00, satu temanku datang dari atas. Tepat sekali. Kami lapar. namun ternyata kompor tidak dibawanya. Ada di temanku yang masih di perjalanan turun. 30 menit. Akhirnya aku naik untuk mengambil kompor. Terlalu lama jika menunggu mereka sampai. 15 menit ke atas dan 5 menit kembali ke latar ombo. Lalu kami makan. Sederhana saja, hanya nasi tadi malam dengan mie instan.

10 menit packing, lalu kami turun bersama-sama. 7 orang. Target 30 menit sampai basecamp. kami mampir di sumber air dekat dengan basecamp. Minum kopi dan sedikit membersihkan apa yang bisa dibersihkan. Pukul 14.00 kami sampai di basecamp. Lalu pulang.

Pelajaran lagi bagiku. Sabar, tenang, dan tidak egois adalah kunci mendaki berkelompok. Secepat dan sekuat apapun aku bisa berjalan lama dan meminggul beban berat, untuk pendakian berkelompok, maka cepat dan kuatku tidak akan berarti tanpa 3 kunci tadi. Kelompokku adalah nyawaku. Satu sakit, maka kelompok itu telah sakit. Dan satu berhasil, maka kelompok itu telah berhasil. Dan masih sama, bahwa tujuan mendaki bukan mencapai puncak. Akan tetapi untuk wujud bersyukur kepada Allah.

Gunung Panderman, Batu, 2 April 2016
Robith Alkholily

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer