Berselimut Dingin Semeru



Sore yang cerah tanpa awan, 22 Agustus 2016, tepatnya hari senin. Aku masih berada di tempat pengabdian masyarakat, di Desa Klepu, Sumber Manjing Wetan, Malang Selatan. Seluruh isi rumah waktu itu aku kelilingi, memeriksa barangku, memastikan tidak ada yang tertinggal. Hari ini aku harus kembali. Tidak besok.

Adzan Maghrib menggema, packingku selesai. Semua baju, buku, dan segala tetek-bengek barangku sudah tertata rapi di carrier consina 60L milikku. Ba'da sholat, aku bersama arif, sowan di rumah-rumah tokoh, dan tetangga rumah, untuk berpamitan. Mereka semua berkata bahwa kami lebih baik dibanding KKM sebelumnya. Alhamdulillah, mereka juga mendoakan kami. Entah apakah perkataan itu hanya pemanis saja. Tapi untuk apa mengurusi sesuatu yang tidak terlihat?

Sehabis isya', arif masih kebingungan mencari charger hapenya yang entah dimana. Sambil menunggunya, aku diam di depan rumah, melihat anak-anak berlarian dari TPQ menuju rumah. Wajah mereka sembab. Wah, firasatku tidak enak.

"Maas, ojok mulih thaa (jangan pulang lah)." Kata mereka merengek. Wajah mereka sudah basah. Rupanya menangisnya sudah sejak tadi saat aku berpamitan di masjid. Lidah mulai bersilat, meyakinkan mereka bahwa aku pasti akan kembali lagi. Aduh seperti apa saja kataku. Jam 8 kami baru bisa keluar Klepu.

---



Pagi datang membawa hangat. Beberapa perlengkapan mendakiku sudah siap. Tinggal packing saja. Setengah 7 pagi, aku dan saudaraku, Idon, berangkat menemui yang lain di kontrakan. Kami berkumpul, ceklist seluruh peralatan dan logistik, bagi beban, kemudian pukul 11 siang kami berangkat menggunakan sepeda motor. Molor 2 jam dari rencana sebelumnya.

Karena berangkatnya molor, datangnya pun molor. pukul 2 siang kami baru sampai Desa Ranupani. Sepeda kami parkirkan di sebelah danau, lalu berjalan menuju basecamp pendakian untuk mendaftar. Perlu diketahui, Gunung Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa, dan tertinggi ke-4 di Nusantara. Sehingga manajemen yang ada disana bagus. Persyaratan pendakian, pun, menjadi sedikit rumit agar para pendaki tidak sembarangan dan memperhatikan betul keselamatan mereka. Surat keterangan sehat dari dokter, fotokopi KTP, mengisi surat pernyataan bermaterai, kemudian masih ada briefing dari volunteer kelompok pecinta alam Gimbal Alas tentang kegiatan pendakian di gunung ini, serta pemeriksaan peralatan yang dibawa oleh kami. Spidol dan parang yang panjangnya lebih dari 15 cm dilarang dibawa untuk menghindari tindakan merusak dan vandalisme. Kami juga sangat tidak dianjurkan untuk tidak melakukan pendakian melebihi Pos Kalimati serta ditutupnya jalur ayek-ayek untuk keamanan. Terlepas dari itu, volunteer tetap memberikan arahan jika kami bersikeras untuk mencapai puncak, dengan konsekuensi mereka tidak akan bertanggung-jawab jika terjadi sesuatu. Kami juga diberitahu, bahwa SAR sampai saat ini masih melakukan penyisiran untuk mencari Lionel, pendaki Swiss yang hilang 2 bulan yang lalu. Ceramah sekitar 20 menit diakhiri dengan quote bahwa "Pendaki yang hebat tidak dihitung dari berapa puncak yang telah dia taklukkan, namun berapa banyak alam yang telah dia lestarikan." Aplause panjang..





Simaksi beres, 52.500 rupiah per orang untuk 3 hari, tiket sudah di tangan, kami melakukan pemanasan. Kemudian, tak lupa, dan yang paling penting, kami membuat formasi melingkar, berdoa bersama sebelum berangkat. Membaca Alfatihah, istighfar dan sholawat 3x, basmalah 3x, terakhir yel-yel. Kami melakukannya di aula tempat para pendaki beristirahat, sehingga pandangan mereka semua tertuju pada kami. Ya, kami santri, dan kami tidak hanya membaca do'a untuk keselamatan kami saja, tapi setidaknya ada unsur dakwah, agar pendaki lain menirunya.

Pukul 15.00 WIB, kami berjalan memulai pendakian dari basecamp Ranupani. Bagus, calon dokter UB, berjalan paling depan, dibelakangnya ada Marsuq, UB Keperawatan, lanjut Afif, UPN Surabaya, lanjut Idon, santri kelas 1 Ts di Lirboyo, kemudian selisih waktu sekitar 10 menit dibelakang ada Kemal, UIN Walisongo Semarang. Belakangnya ada Naufal, Ekonomi UB, lanjut Ashab, Manajemen UIN, dan sweper, Aku. Pada awalnya kami berjalan beriringan dengan sautan-sautan gojlokan dan hinaan candaan. Akhirnya kami terpisah jarak kisaran 10 menit karena Kemal yang ternyata baru pertama kali mendaki. Peralatannya seadanya. Celana jeans, sepatu kulit, jaket biasa, serta tas polo yang entah apa isinya. 4 orang di depannya sering berhenti menunggu.




Jarak tempuh normal dari Ranupani sampai pos 1 sekitar 45 menit dengan berjalan santai. Trek relatif landai dan jalannya berpaving. Tidak ada jalan menanjak sama sekali. Jam 3 start dari basecamp, pukul setengah 5 kami baru sampai pos 1. Aku kedinginan karena sama sekali tidak berkeringat. Tantangan berat menjadi sweaper ketika orang yang berjalan di depannya seperti anak baru khitan adalah sabar. Sabar menunggu, sabar melihat, dan sabar menemani.

Lebih berat lagi ketika ternyata yang disabari, tidak sedikitpun merasa disabari. Malah lebih menuntut. Akhirnya memang dasarnya maqomku masih mengharapkan balasan atau pengakuan, atau setidaknya rasa sadar diri. Nggremeng juga batinku. Aku diam, kalau tidak sangat penting, aku tidak akan bicara. Sumpek.

Aku lupa pukul berapa tepatnya aku dan teman-temanku sampai di pos 2. Yang jelas hari sudah gelap. Break. Ada api unggun yang dibuat oleh warga tengger disitu. Kami merapatkan diri, mencari kehangatan karena sebab yang sama; tidak berkeringat dan kurang aktif bergerak. Ada 2 pendaki dari Dampit dan Jember. Dalbo dan Simon. Mereka sudah sering mendaki gunung ini namun belum pernah sampai puncak. Dalbo anggota Gimbal Alas, pecinta alam yang stay di Ranupani. Setelah basa-basi sok kenal sok dekat, kami menjadi 1 kelompok. Formasi berjalan berubah. Simon paling depan, diikuti Dalbo, Afif, Idon, lalu aku. Mengikuti di belakang dengan jarak sekitar 25 menit, Kemal, Naufal, Marsuq, dan Bagus jadi sweaper. Sengaja kami tidak menunggu mereka, menghindari hipotermia. Kami harus terus bergerak agar badan menjadi hangat.

Sebelum pos 3, kami break sekitar 20 menit di sebuah jembatan yang terbuat dari kayu, sembari menunggu yang di belakang. Lupa waktu itu tidak kuhitung berapa batang rokok yang kuhabiskan agar tidak bosan. Setelah yang lain terlihat, break 5 menit, lalu kami berjalan dahulu meninggalkan rombongan di belakang; dingin. Dari sini jalanan mulai sedikit menanjak namun pendek, selebihnya kembali landai. Break lagi di pos 3.

Dalam perjalanan menuju pos 4, Naufal menyusul rombongan depan. Aku kira bersama yang lain, ternyata dia sendirian. Tidak betah ternyata. Carriernya paling berat, juga tidak begitu penyabar, akhirnya menyusul. Lebih kaget lagi, tas polo milik Kemal dibawa olehnya juga. Jadi Kemal tidak kuat di tanjakan pendek setelah pos 3. Tas diberikan Naufal, lalu Naufal berjalan cepat menyusul yang didepan.

Tidak lama, vegetasi di sebelah kiri jalanan mulai terbuka. Langit cerah penuh dengan bintang. Pantas dingin sekali. Kemudian, mulai terlihat samar-samar dibawah cahaya bulan sabit, sebuah kolam besar dengan air yang tenang.


Ranukumbolo!

Aku berteriak.


Saat vegetasi benar-benar terbuka, Allah menunjukkan KuasaNya dengan begitu indah dan membuat kami tak bisa bicara. Danau Ranukumbolo dengan airnya yang bergerak lembut ditiup angin malam dan diterangi terang bintang dan bulan yang tak penuh serta terpagar oleh perbukitan yang ditumbuhi bunga-bunga lambang cinta sejati yang ikut bergoyang perlahan menyambut kami. Subhanallah wa Alhamdulillah wa Laa ilaaha illa Allah wa Allahu akbar Laa haula wa laa quwwata illa bi Allah. Headlamp aku matikan karena begitu sempurna momen itu ketika cahaya hanya bersumber dari atas semesta. Mata kami liar menelusur kagum melihat semua itu. Indah. Sungguh indah. Sungguh menakjubkan serta menundukkan.


Campground Ranukumbolo sudah terlihat, tapi kami break di Pos 4 menunggu rombongan di belakang. Carrier kami letakkan di dalam pos, lalu makan snack di pinggiran sambil menikmati view malam hari Danau Ranukumbolo. Saat belum semua kulihat, bintang tak segan menampakkan milky way -galaksi Bima Sakti.

Aku.

Tidak.

Bisa.

Berkata.

kata.

Sungguh.

Indah.

Dan tanpa rekayasa.


Ini pengalaman pertamaku melihat langsung apa itu milky way yang sebelumnya hanya aku lihat di gambar-gambar yang, kukira itu hanya manipulasi kamera-kamera mahal. Ternyata tidak. Mata telanjang pun bisa melihat, jelas sekali. Subhanallah. Indah sekali. Dingin, lelah, hilang terbayar oleh pemandangan malam hari Ranukumbolo.

---

Pukul 21.30 WIB kami sampai di campground Ranukumbolo setelah sebelumnya menunggu rombongan belakang di pos 4. total perjalanan dari Ranupani ke Ranukumbolo 7 jam. Sedikit molor 3 jam dari jarak tempuh normal. Dalam kondisi cuaca cerah seperti itu, jumlah tenda yang berdiri tergolong jarang. Masih banyak spot yang kosong. Batas pendirian tenda sekitar 15 m dari bibir danau, salah satu trik TNBTS dan Gimbal Alas untuk menjaga kebersihan dan kemurnian air yang ada di danau. Kami dapat spot tepat di barisan paling depan, langsung menghadap ke danau. Ada 2 tenda kapasitas 3 orang dan 1 tenda kapasitas 2 orang. Aku, Idon, dan afif satu tenda, Ashab dan Kemal mengisi tenda 2 orang, dan Bagus, Naufal, serta Irfan mengisi tenda 3 orang. Sedangkan Dalbo dan Simon mendirikan tenda di dalam shelter, agar hangat katanya.

Makan malam dengan menu mie instan karena kondisi sudah lelah, lalu kami tidur. Bersiap menunggu matahari muncul seakan keluar dari danau.

---

Pukul 5 pagi, pintu tenda aku buka. Masih gelap. Dingin juga menusuk. View dari dalam tenda, danau tampak secara keseluruhan, lalu diseberang ada 2 bukit berjajar dimana nanti, matahari akan keluar diantara 2 bukit itu. Langit sedikit kemerahan, berpadu dengan biru yang jarang serta hitam yang masih mendominasi. Semakin warna merah merambah, semakin jelas kabut ternyata mulai nampak. Tumpah ke dalam danau. Sunrise tak terlihat.









Tepat pukul 8 pagi, kami sarapan. Nasi, soto, telur dadar, bandeng, mie, dilengkapi kripik tempe. Logistik kelompokku dengan Dalbo kami jadikan satu. Beralaskan flysheet, kami makan besar.



Selesai makan, kami packing. Ashab dan Kemal terpaksa harus kembali, camp di Ranuregulo karena keadaan Kemal tidak memungkinkan meneruskan ke Kalimati. Pukul 11 siang, kami foto bersama, lalu berpisah. 8 orang melanjutkan ke Kalimati.





Tanjakan Cinta, tepat setelah Ranukumbolo, membuat nafas kami cukup habis. Terlihat tidak terlalu menanjak, tapi mungkin karena efek otot yang lemas setelah istirahat lama, lelah dan memburu nafas kami. Ada 2 pilihan jalur sebenarnya. Tanjakan Cinta, serta memutari bukit. Karena ini pengalaman pertama, sayang rasanya kalau tidak merasakan tanjakan itu. Dalbo dan Simon sudah berjalan di depan 25 menit lebih dulu.



Setelah Tanjakan cinta, trek menurun, memasuki wilayah padang rumput dengan hamparan luas bunga indah berwarna ungu yang dianggap sebagai Bunga Lavender, padahal bukan. Verbena Brasiliensis, tumbuhan yang entah dari mana asalnya, yang ternyata adalah tumbuhan hama. Bunga satu ini memiliki kemampuan menyerap air melebihi tumbuhan di sekitarnya. Katanya, dulu, Edelweis banyak tumbuh di Oro-oro Dowo ini, namun akhirnya habis karena berebut air dengan bunga ungu ini. Jadi, sangat direkomendasikan memetik bunga ini, dengan catatan setelah dipetik, bunga dimasukkan ke carrier atau plastik, agar benihnya tidak jatuh dan tumbuh di wilayah lain.








10 menit, kami sampai di pos Cemoro Kandang. Ada yang berjualan gorengan dan semangka dengan harga yang sama, 2500 per potong/biji. Kemudian trek sedikit naik dengan vegetasi Cemara. Jarak tempuh dari Cemoro Kandang sampai ke Pos Jambangan sekitar 2 jam.







Pos Jambangan merupakan pintu masuk menuju padang rumput yang lain, yang bedanya, dipenuhi dengan Bunga Edelweis. Kami bertemu Dalbo dan Simon di pos ini. Berfoto-foto dulu, kemudian melanjutkan perjalanan bersama Dalbo san Simon. 1 jam, kami sampai di Campground Pos Kalimati.

Lebih cepat dari estimasi waktu sebelumnya. Jarak tempuh normal dari Ranukumbolo sampai Kalimati adalah 4-5 jam. Sedangkan kami hanya 3,5 jam dengan berjalan santai.

Ada sekitar 13 tenda yang berdiri. Kami memilih spot dekat shelter Kalimati. 3 tenda dengan kapasitas per masing-masing tenda 3 orang. Setelah tertata, aku, simon, bagus, dan naufal mengambil air di Sumber Mani. Jarak dari campground sekitar 1,5 km atau berjalan 20 menit menurun ke arah barat daya. Sumber berupa pancuran dari pipa yang disalurkan dari dalam tanah. Intensitas airnya tidak begitu banyak, sehingga saat musim kemarau cenderung kering. Perlu diketahui, pengkonsumsi air dari sumber ini tidak hanya manusia saja, namun tak jarang pendaki melihat langsung Macan Tutul datang ke Sumber Mani. Jadi, sangat tidak disarankan mengambil air saat malam hari, mengingat macan tutul adalah binatang nocturnal. Jika memang darurat, disarankan datang secara berkelompok karena sepertinya macan tutul lebih suka bertemu satu lawan satu. Jika dia kalah jumlah, maka dia cenderung pergi.

Pukul 5 sore, kami makan. Dengan menu nasi, sop, dan ikan asin. Selepas maghrib kami tidur, menyiapkan energi untuk summit attack.

---

21.00 WIB

Kami packing. Sleeping bag, jaket tebal, kompor dan nesting, oksigen, mie instan, roti, permen, serta air mineral. 8 orang, dengan 2 carrier yang dibawa olehku dan Simon. Tepat pukul 23.00 WIB kami berangkat setelah sebelumnya kami membuat formasi melingkar, berdoa bersama.

Leader adalah Naufal karena dia satu-satunya dari kami yang pernah mencapai puncak. Kemudian Afif, Idon, Irfan, Bagus, Dalbo, Simon, dan aku tetap memilih menjadi sweaper, penutup jalan. 30 menit berjalan, Dalbo nampaknya kurang sehat. Sering batuk sampai nyaris muntah. Terpaksa, dia memilih kembali ke Kalimati. Selagi masih belum jauh dan masih bisa kembali sendirian.


Tinggal 7 orang. Formasi berjalan masih sama, dikurangi Dalbo.


Trek terus menanjak dan jalan berupa tanah berundak dengan kemiringan sekitar 60 derajat sampai batas vegetasi. Jarak tempuhnya sekitar 1 jam. Cuaca sangat terang dengan cahaya bulan sabit, serta bintang yang bertebaran memenuhi langit. Sampai di batas vegetasi, trek semakin curam dan jalan pasir dengan batu-batuan labil dengan kemiringan trek sekitar 70-80 derajat.


Belajar dari Naufal, kami disarankan untuk tidak saling menunggu. Diam terlalu lama berarti menantang maut. Tubuh harus lebih banyak bergerak, pandangan harus fokus ke atas, pijakan harus mantap tanpa menginjak batuan yang labil, serta mental yang harus kuat dan pantang menyerah.


Melangkah satu langkah, merosot 2 langkah. Kami kepayahan di awal trek. Belajar, kakiku aku tancapkan ke dalam pasir, dan berhasil. Lebih efektif dan tidak terperosot. Karena energi sudah mulai terkuras, kecepatan berjalan teman-teman di depan berkurang. Jalan 7 langkah, berhenti. Begitu seterusnya. Aku tidak kuat. Angin bertiup kencang dari arah puncak. Dingin sekali. Aku harus bergerak lebih agar tubuh menjadi hangat. Bermaksud mengamankan diri dari dingin, aku mendahului teman-teman. Berhenti hanya untuk mengambil nafas saja.


Sudah berjalan sekitar 2 jam. Hangat tidak juga muncul dari dalam tubuh. Meskipun sudah menggunakan buff yang kulipat menjadi 2, serta kaos tangan, wajah dan tanganku terasa sangat dingin. Cuaca cerah bermakna dingin yang hebat. Badanku hangat, namun terasa dingin. Gejala hipotermia. Aku harus lebih menjaga kesadaranku. Maka kupercepat langkahku serta kuperbanyak gerakan agar hangat. Tapi nihil. Aku tak kuat dengan dinginnya. Berniat berlindung dari angin di balik batu, namun aku malah tertidur. Aku sadar, tertidur saat hipotermia, maka sama saja dengan terbunuh perlahan.

---


Entah berapa lama aku tertidur. Simon membangunkanku. Allah belum berkehendak memanggilku.


---

Naufal dan Irfan sudah tidak terlihat di depan. Aku berjalan cepat meninggalkan Simon di belakang. Tetap menjaga tubuhku agar tetap hangat. Bagus, Afif, dan Idon tak terlihat.


Kamis, 25 Agustus 2016, Pukul 04.30 WIB, aku yang tidak lebih dari seorang hamba lemah dan hanya bisa berusaha, akhirnya menapakkan kaki di puncak tertinggi Tanah Jawa, di sebelah kawah Jonggring Saloko, dan merupakan salah satu dari 7 puncak tertinggi Indonesia, 3676 meter di atas permukaan air laut, di Puncak Mahameru, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.











---

Naufal sampai pertama, bersamaan dengan Irfan, sekitar pukul 04.00 WIB. Dilanjutkan olehku. Kemudian selisih 15 menit, Simon sampai. Berjarak 10 menit, Afif dan Bagus menyusul. Afif langsung mengumandangkan adzan. Sedangkan Idon terakhir sampai dengan selisih sekitar 25 menit setelah Bagus. Wajahnya sedikit sayu; sesak nafas dan kedinginan. Setelah dioksigen, kondisinya membaik. Kami minum teh panas dan makan sedikit roti.


Berfoto-foto. Kurasa tujuan utamanya adalah itu. Sehingga pukul 07.00 WIB, setelah puas berfoto, akhirnya kami turun.



Trek ketika berangkat butuh waktu sekitar 5 jam, sedangkan saat turun, hanya 2 jam, itu pun sering berhenti lama, berfoto dan mengambil video. Bagus, Irfan dan Simon sudah berjalan turun lebih dahulu.





Pukul 9 kami sampai Kalimati. Dalbo, yang semalaman turun karena tidak sehat, paginya sudah memasak, menyiapkan makanan untuk kami. Selepas bersih-bersih badan dan beristirahat, kami makan. Dengan menu nasi putih, sarden, ikan asin dan telur rebus. Kemudian kami packing, persiapan untuk turun.. Lalu pukul 11 kami turun. Maghrib kami sampai di Ranupani. Setelah laporan ke basecamp, aku dan Idon pergi ke Ranuregulo, menjemput Ashab dan Kemal. Setelah kami makan mie instan sisa logistik, tepat pukul setengah 9, kami turun ke Malang.



Dengan selamat,


dan tentu bahagia.




Malang, 11 September 2016
alkholily



Komentar

  1. Jadi inget pertama kali aku dapat quote ini
    "JANGAN MENINGGALKAN APAPUN KECUALI JEJAK
    JANGAN MENGAMBIL APAPUN KECUALI FOTO
    JANGAN MEMBUNUH APAPUN KECUALI WAKTU"
    ya pas pengalaman pertama ke ranu kumbolo, tepatnya pas breafing sebelum keberangkatan oleh volunteer... semoga dan semoga bisa, meski pas baca akhir2nya agak merinding,hiks

    Selamat gus, keren (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wingi quote e wes ganti iku. Soale nek seng koyok smpean iku wes akeh seng apal mbak. Hahaha

      Sumpah iku nek aku gak digugah ambek koncoku, gelarku alm. Sekarat gegara kademen.

      Hapus
    2. Haha.. atek diapalno a yo ternyata.. :D
      Iya sih, skrg sudah umuuum...

      Lah iku, mbayangne aku nak ranu ae wes gak iso obah sikilku, opo maneh koyok seng samean rasakne... maleh wedi dewe... 😢

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer