Menjadi Arjuna! ; Gunung Arjuna via Lawang

Pendakian Gunung Arjuna via Lawang


Gunung Arjuna, diambil dari lt. 4, PP Nuha, Mergosono.

Kalau hidup di Malang, pasti setidaknya pernah mendengar sedikit tentang gunung ini. Gunung yang terlihat jelas dari jalanan Malang-Pasuruan jika kondisinya terang dan tidak mendung ini memiliki ketinggian 3339 meter di atas permukaan air laut. Tertinggi ke-3 di Jawa Timur kalau tidak salah, setelah Semeru dengan ketinggian 3676 mdpl dan Raung dengan ketinggian 3344mdpl. 


Terdapat banyak sekali jalur untuk sampai pada puncak gunung ini. Tetapi hanya 4 jalur saja yang resmi, serta banyak dipilih para pendaki, Jalur Kebun Teh Lawang, Jalur Tretes, Jalur Purwosari, dan Jalur Cangar Batu. Jika kita ingin jalur dengan banyak sumber air, maka lebih baik kita memilih jalur Purwosari. Pos-posnya berupa bangunan permanen, tempat orang-orang melakukan praktek-praktek pemujaan. Jalur Tretes adalah jalur penambang belerang. Jadi treknya lebar dan konturnya berupa bebatuan, namun juga terdapat banyak sumber air. Sedangkan Jalur Cangar merupakan jalur baru. Katanya sih vegetasinya sangat lebat dan treknya lumayan sulit serta tidak begitu jelas. Sumber air juga tidak ada. Jadi kalau mendaki lewat jalur ini, lebih baik benar-benar mempersiapkan segala sesuatu termasuk fisik dan logistik. Menurut salah satu sumber, walaupun trek jalur ini lumayan sulit, akan tetapi view dari jalur ini indah. Lalu Jalur Kebun Teh Lawang, jalur yang aku pilih untuk pendakianku menuju puncak Gunung Arjuno.


Jum'at, 11 November 2016.


Pasca sholat jum'at, aku pergi ke stasiun Kota Lama untuk menjemput 3 saudara dan temanku dari Kediri. Mereka yang memintaku untuk menemani perjalanan pendakian di gunung ini. Beberapa peralatan dan logistik sudah siap, tinggal cek dan bagi beban. Masing-masing orang membawa 3 botol air, karena katanya, jalur ini tidak memiliki sumber air. Packing selesai, pukul 3 sore, setelah sholat ashar, kami berangkat dari Mergosono menuju Lawang menggunakan sepeda motor.


Kami berhenti di Pasar Lawang, membeli baterai untuk headlamp, serta membungkus nasi untuk buka puasa. Sekitar 150 m dari Pasar Lawang, di kiri jalan terdapat gang, tidak ada tanda khusus, kami hanya mengandalkan informasi salah satu sumber yang pernah naik via Lawang. Setelah itu lurus sampai ada plang Pos Pendaftaran Pendakian Arjuno via Lawang. Sepi. Kami menelpon petugas pendaftaran yang nomornya tertera pada banner peta pendakian berukuran besar ditempel disitu. Rp10.000,-/orang/hari. Lalu kami diarahkan menuju rumah Kepala RT yang tidak jauh dari situ. Khas orang pedesaan, kami disambut dengan hangat.



Peta Pendakian via Lawang


Kelompok kami terdiri dari 5 orang. Aku, 2 saudaraku; Aim dan Nava, lalu Diki, dan Ashab. Diki adalah teman satu kamar Nava, suka sekali mendaki, dan hebatnya, sudah 2 tahun ini dia puasa. Jadi kalau pas mendaki, ya dia tetap berpuasa. wow. Aim dan Nava juga sudah punya sedikit pengalaman mendaki, di Sumbing, Merbabu, Andong, dan Prau. Sedangkan Ashab, sudah pernah ke Panderman dan Ranukumbolo.


Di rumah pak RT ini kami memutuskan untuk sedikit bersantai. Rencana, kami akan memulai perjalanan selepas isya', dan nantinya camp di Pos 2. 


"Bawa 1 tongkat ya, mas. Biar genap." saran Pak RT


"Kami sudah bawa 2 tongkat ini, pak. Trus bagaimana?" 


"Ya ditambah lagi 1 mas. Pokoknya biar orangnya genap. Anggap saja tongkat itu teman." lanjut Pak RT.


Ya, perlu diketahui juga, gunung ini terkenal dengan cerita-cerita mistis yang kerap sekali dihubungkan dan disinggung ketika ada pendaki yang hilang. Banyak pantangannya. Tidak boleh memakai baju merah, harus berjumlah genap, tidak boleh berteriak, dan harus selalu menjaga kesopanan dan ketenangan. Kalau dilanggar, resikonya akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Begitu. Menurutku tidak harus kita percaya dan terlalu paranoid dengan yang seperti ini. Tapi bukan berarti kita bisa seenaknya sendiri. Tetap wajib kita patuhi, sebatas menghargai dan menghormati nilai tradisi yang ada di daerah itu. Serta kalau kita merasa bahwa kita ini adalah pendaki yang baik, maka otomatis, melakukan hal-hal yang merusak dan tidak bertanggung jawab merupakan larangan. Yang penting, kita yakin sepenuhnya bahwa pertolongan hanya dari Allah, serta niat kita melakukan pendakian adalah untuk mendekatkan diri pada Allah melalui sikap bersyukur atas alam yang dianugrahkan kepada kita.



19.00 WIB


Kami mengecek kembali peralatan kami. 5 orang dengan 3 tongkat, jadi kami anggap 8 orang. Genap sudah. Kami melakukan pemanasan ringan, lalu melingkar, berdoa. Seperti biasa, kami bertawasul, lalu membaca istighfar 3x, sholawat 3x, Nariyah 3x dan basmalah 3x. Perjalanan dimulai.

Diki berjalan paling depan. Dilanjutkan Nava, Aim, Ashab, dan aku paling belakang; sweaper. 

Pos pertama adalah shelter pendaftaran atau rumah Pak RT, setelah itu, kami memasuki kebun teh yang sangat luas. Hanya jalan lurus saja jika ingin cepat. Kalau bingung, cukup ikuti jalur truk teh yang berupa jalan makadam, sekitar 15 menit berjalan, kami bertemu Brak Teh 1. Cuaca malam itu hangat dan mendung. Sedikit gerimis dan kabut. Muncul masalah kesulitan mencari jalur. Sebelah kanan maupun kiri terlihat sama semua. Teh. Kami terus jalan lurus, kearah atas.

Kami bertemu 4 pendaki lain di Brak Teh 2, yang merupakan batas antara kebun dan hutan. Kami terus berjalan dan beristirahat di batas kebun. Awalnya kami ingin terus dan camp di pos 3, untuk mengurangi perjalan di siang hari esoknya. Tapi jarak antara pos 2 sampai pos 3 sekitar 3-4 jam. Daripada jatuh ditengah jalan, kami putuskan camp di pos 2. 

Lanjut. Kami masuk hutan. Treknya sudah berupa tanah basah karena hujan sore hari tadi. Vegetasinya cukup rimbun, trek juga tidak begitu berat. Sekitar 45 menit berjalan, kami keluar dari hutan dan masuk ke kawasan padang rumput;

Pos 2 bayangan.

22.00 WIB

Jika melihat ke arah hutan, di belakang hutan terlihat pemandangan Kota Malang dalam bingkai lampu malam. Kami mencari spot di antara beberapa pohon untuk berlindung dari angin atau jaga-jaga jika ada badai datang.

Cuaca di bawah cukup terang, sehingga lampu-lampu Kota Malang dan Pasuruan terlihat jelas. Namun diatas mendung dan gelap, bintang nihil, tidak nampak. 

Kami rehat. Aku, Diki, Nava dan Ashab mendirikan tenda serta memasang flysheet, sedangkan aim memasak mie dan nasi, tak lupa kopinya.

Makanan siap. Kami makan bersama, lalu ngopi sembari menikmati pemandangan malam Kota Malang dengan gemerlapan lampunya yang antara terang dan gelap. 


korban kameramen, tidak ada dalam foto


Nglinting, jangan lupa


Tidak hanya di Paralayang, disini tak kalah indah


Setelah mengambil beberapa foto dan menghabiskan kopi, kami tidur. Aku, Nava dan Diki satu tenda. Sedangkan Aim dan Ashab di tenda yang lain.


Sabtu, 12 November 2016

09.15 WIB

Terang, tidak ada awan hitam atau tanda-tanda akan ada hujan. Hanya ada sedikit awan kabut yang seperti berjalan perlahan ditiup angin yang berjalan dari arah selatan. Pagi itu, kami baru menyadari bahwa kami berada di punggungan bukit, dan di sebelah kanan kiri kami, punggungan-punggungan bukit lainnya nampak berjejeran membentuk formasi yang, ah, entah mau aku sebut seperti apa. Puncak Gunung Lincing di sebelah barat kadang terlihat, kadang putih tertutup kabut.


Jalur Lincing


Semeru terlihat samar,


Makan. oh, ya, jangan lupa bahagia.


Setelah memenuhi kebutuhan biologis kami; minum, buang hajat, dan berfoto, kami packing, lalu melanjutkan perjalanan. Kami tidak sarapan, hanya minum kopi dan teh saja. Setelah itu berdoa, lalu lanjut berjalan dengan formasi seperti kemarin. Hanya saja Nava jadi leader. Setelah sekitar 10 menit berjalan, kami sampai pos 2 sebenarnya.



Gubuk Kecil di Pos 2


Pos 2


Kaget mungkin, setelah istirahat cukup lama sebelumnya dan tidak kami awali dengan pemanasan terlebih dahulu sebelum berjalan, nafas kami tersengal dan pundak kami sudah payah. Walhasil, istirahat lagi di pos 2.

Ada 1 kelompok beranggotakan 8 orang yang baru saja packing saat kami sampai di pos 2. Mereka melewati tenda kami pada malam hari disaat kami sudah di dalam tenda. Meskipun rencana kami sama dengan kelompok itu; camp lagi di pos 4, kami jalan duluan.


Pilihan Jalur


Ada dua pilihan trek dari pos 2 ini. Ke kiri Via Sabana dan ke kanan via Gunung Lincing. Kalau ingin cepat, ditambah cuaca terang, maka ambil Lincing. View yang akan disuguhkan via jalur ini juga, katanya, lebih indah dibanding via jalur sabana. 2 jalur ini pada akhirnya akan bertemu di pos 3. Tentu, jarak tempuhnya cukup berjarak. Kalau via lincing, kita hanya butuh waktu 2-2,5 jam sampai pos 3 dengan catatan fisik dan mental kita kuat. Sedangkan via sabana, kita butuh waktu sekitar 3,5-4 jam untuk sampai pos 3. Walaupun sebenarnya fisik kami kuat dan siap, tapi mental kami sudah lelah duluan, jadi kami memilih jalur sabana. 

Setelah pos 2, trek mulai sedikit berbatu dan lebih menanjak dari sebelumnya. Lumayan. 30 menit melangkah, kami kembali masuk ke daerah padang rumput. Ada 2 sabana yang pernah aku lewati. Sabana Gunung Buthak dan Gunung Semeru, semuanya landai. Tapi sabana yang ini beda. Nanjaknya Masyaallah.


Momen disaat kabut memberi kami kesempatan untuk lebih membuka mata


Sepanjang perjalanan, kami ditemani kabut yang datang dan pergi. Kalau saat kabut pergi, jarak pandang menjadi lebih luas dan pemandangan sekitar sabana menjadi jelas indahnya. Tapi saat kami bergegas mengambil kamera untuk mengabadikan momen, kabut datang lagi membatasi jarak pandang kami. Mungkin belum diizinkan.



Berkabut dan Menanjak


Beberapa kali kami berhenti untuk break. Yang lain, termasuk aku, minum dan sedikit memakan coklat dan gula merah yang kami bawa. Sedangkan Diki, karena dia tetap berpuasa, jadi saat break dia hanya tidur. Ngganjel juga memang. Kami tidak enak, merasa kasihan tapi mau bagaimana lagi. ya, just enjoy it.


Sabana habis, kami mulai memasuki wilayah Hutan Mahapena, hutan dengan vegetasi pohon-pohon besar entah apa namanya. Fisik kami sudah mulai payah. Efek belum sarapan, mungkin. Setelah 3 jam lebih 15 menit, akhirnya kami sampai;


Pos III; Mahapena



Kopi juga butuh ditunggu

12.30 WIB


Sebelum masuk kawasan Hutan Mahapena tadi, kami didahului oleh kelompok yang kami temui di pos 2. Tapi kemudian kami bertemu lagi di pos 3. Kami disuguh kopi susu. Wuhh. Lelah, lapar, sudah ada kopi susu hangat. Indah.


Kami cari spot, lalu makan mie instan dan menyeduh kopi.



Laki harus bisa masak!


Mau apa, logistik kami terbatas dan begitu sederhana, adanya tembakau, akhirnya yang bisa kami bagi dengan kelompok itu adalah mbako



Bukan karena ngirit, tapi ini demi kesehatan

"Enak, mas!" kata mereka.


Kami mengambil waktu istirahat cukup lama di pos 3. Sambil memberikan kesempatan pada Diki untuk tidur, agar tenaganya kembali terisi.



Lelah? tidak malu sama yang puasa?!


13.30 WIB


Kami lanjut jalan setelah otot-otot kaki dan pundak terasa enak. Kelompok satunya masih bersantai. Jika dilihat di peta pendakian, jarak perjalanan dari pos 2 - pos 3 dan pos 3 - pos 4 sama, 2km. Tapi waktu tempuhnya sungguh jauh. Jika tadi dari pos 2 sampai pos 3 butuh waktu 3 jam lebih, setelah pos 3 sampai pos 4 hanya menghabiskan waktu 2,5 jam. Pikir kami, berarti kemiringannya tidak terlalu vertikal dibanding trek sebelumnya, otomatis tenaga yang dibutuhkan tidak sebanyak perjalanan sebelumnya.


Entah karena efek lelah, atau memang treknya yang nyatanya sangat vertikal, kami butuh 3,45 jam sampai pos 4. Memang, kami break untuk memberi kesempatan Diki agar tidur 2-3x. Tapi rasanya tetap berat dan memakan banyak energi.



Sebelum Pos 4, abaikan yang dibelakang.



17.00 WIB


Ucapan-ucapan keputus-asa-an mulai terucap. Lelah dan lapar. Tidak ada trek bonus dari pos 2 sampai hampir pos 4 ini. Rasanya sudah dekat jika berdasar peta yang kami lihat. Tapi pos 4 tidak kunjung muncul. Aku ingat saat mendaki Sindoro via Bansari. Hahaha. Sama sekali tidak ada trek bonus sampai puncak. Setidaknya, semoga, ada beberapa meter trek bonus di gunung ini. Tapi nyatanya sampai sejauh ini juga tidak ada sama sekali trek bonus. Agaknya sedikit mustahil menjelang puncak ada trek bonus. Trek menuju puncak biasanya paling susah dan, aduh, melelahkan dhohiron wa bathinan. Yang perlu kami lakukan sekarang hanya berjalan dan jangan terlalu banyak dipikirkan. Malah tidak kunjung sampai. Lanjut jalan! 



Walaupun wajahnya pucat, tetap jalan!

Selangkah selangkah yang penting sampai. Oh, ya, jangan sepaneng. Terbukti sangat efektif. Kami akhirnya sampai;


Pos IV; Nggombes



Alas Nggombes; Batas akhir sebelum Alas Lali Jiwo


Kelompok yang kami temui di pos 3 tadi sudah lebih dahulu mendirikan tenda disini dan sudah bersiap untuk makan. Diki, aku, dan Nava langsung mendirikan tenda. Ashab dan Aim memasak nasi, menyeduh kopi, dan membuat mie rebus. Sambil menunggu nasinya matang, kami makan roti dan ngopi.



Persiapan buka puasa

Langit mulai memerah, tanda masuknya waktu maghrib. Kami berbuka puasa.


oh, hanya Diki yang berbuka. Kami menemaninya, kasihan kalau makan sendiri. hehehe



Tinggal sedikit,

Ngopi dan nglinting, sedikit berfoto, lalu kami tidur. Rencana, kami akan bangun pukul 1 dini hari, lalu summit attack. Pasang alarm sebanyak-banyaknya, kami tidak ingin terlambat.


24.00 WIB


Ternyata kami terlalu bersemangat. Jadi kami tidak sempat mendengar alarm, kami sudah bangun duluan. Tetangga sebelah ternyata masih ramai.


Pukul 01.00 WIB, Diki memasak nasi dan mie, mengambil jatah sahurnya. Yang lain sengaja tidak makan. Nanti saja setelah dari puncak. Sembari menunggu Diki makan, yang lain packing untuk summit. 2 sleeping bag, kompor dan nesting, 1 botol air gula merah, 2 botol air putih, baju lapangan termasuk jaket, sarung tangan dan masker, tongkat, jas hujan, headlamp, dan yang pasti; kamera.


02.00 WIB


Kami berangkat setelah berdoa bersama.

Diki sebagai leader, Nava, Ashab, Aim, dan aku sebagai sweaper sekaligus membawa carrier

Beberapa mennit berjalan, vegetasi berubah berupa pohon cemara yang begitu banyak dan tertata bagus. Sebelumnya, kami masih bersuara. Memberi peringatan kalau ada lubang di jalan, atau sedikit bercanda, masih ada suara dari kami. Sejenak setelah masuk wilayah vegetasi cemara, kami mulai terdiam.


Alas Lali Jiwo


Kami sudah banyak mendengar cerita tentang hutan ini. Pendaki hilang, atau diganggu oleh bangsa selain manusia, kabut yang datang mendadak, jalan berjam-jam tapi tidak kunjung sampai, seperti tidak ada habisnya, jika aku bertanya tentang Arjuno, kebanyakan menjawab dengan cerita tentang Alas Lali Jiwo. Beberapa tahu cerita dari mulut ke mulut. Tapi ada juga yang pernah mengalaminya sendiri. 


"Fokus, rek."


"Hayo, ojok sambat."


"Jaraknya, bro!"


"Ojo ngelamun, sam."


"seng akeh sholawat, yo."


Kami sudah takut karena sugesti kami sendiri. Tidak ada yang berani bersuara kalau tidak sangat penting. Kami juga sangat menjaga jarak dan kesadaran kami. 


Sampai kemudian ada suara orang memanggil,


"Hoey!!"


Aku menoleh ke belakang. "Ada pendaki lain, rek." sambil mengarahkan senterku ke sumber suara.


"Mana, sam?" Jawab Ashab dan Nava.


Belum aku jawab, suara yang aku anggap pendaki lain itu memanggil lagi.


"Bit, Robit!!"


Tidak mungkin mereka tahu namaku.


Oke. Kupikir tidak usah digubris. Cukup lanjutkan perjalanan, fokus, dan perbanyak membaca sholawat.


Waktu Subuh.


Kami sampai di jalur pertemuan antara jalur via Lawang dan jalur via Purwosari; 


Pos Pelawangan 


Vegetasinya berupa pohon Edelweis yang kebetulan sedang tidak berbunga dan ada beberapa pohon berukuran sedang berbunga merah, entah apa nama pohonnya. Kami beristirahat cukup lama di pos ini, sambil menikmati pemandangan matahari terbit.


Trek mulai lebih sempit, licin, dan berbatu. Vegetasinya terbuka, sehingga angin lebih bebas menyapa kami. Aku tidak bisa membayangan jika hujan menyabut ketika melewati trek ini. Mungkin turun akan jadi pilihan terbaik. Tapi saat itu, cuaca memihak pada kami. Jajaran awan di bawah kami penuh, pun diatasnya juga. Kami serasa dihimpit oleh awan-awan itu. Warnanya kemerahan oleh sinar matahari yang belu sepenuhnya muncul. Lelah kami hilang. Terlebih ketika kami disapa oleh batu besar di atas kami, menjulang, terdapat bendera di atasnya; "Puncak!!"


Lelah jadi sepenuhnya hilang. Setelah kurang lebih berjalan 12 jam, kaki kami akhirnya memeluk tumpukan batu khas puncak Gunung Arjuna;



Puncak Ogal-agil, 3339 Meter di atas Permukaan Air Laut,
Gunung Arjuno via Lawang, Kota Malang
05.00 WIB, Minggu, 13 November 2016

Aku sudah berjanji, akan kubawa kau lebih tinggi!


Bersama 4 pendaki dari Blitar.


Ini Nava, scooterist yang sudah bosan touring
ini Aim, katanya sih orang NU
Diki. Poso ora dadi alasan kesel!
Ashab. Fotonya paling banyak.

06.30 WIB


Dingin karena angin dan kabut mulai menjalar pada tubuh kami. Setelah puas berfoto, kami turun. Tidak seperti saat perjalanan naik yang cenderung hemat suara karena lelah. Saat perjalanan turun, seperti otak kami tertinggal di puncak, cepat sekali karena sambil bercanda. Tidak lupa juga, kami mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi.



Beberapa menit setelah puncak



Pos Pelawangan



Entah Pohon apa



Tanda masuk wilayah Alas Lali Jiwo



Tepat sebelum masuk pos 4


08.00 WIB


Kami sampai di pos 4. Istirahat sejenak, makan mie dan nasi. Kemudian packing, persiapan turun. Rencana kami, sebisa mungkin sebelum hari gelap sudah sampai pos 1.



Makan sebelum turun
09.15 WIB

Setelah siap, kami berdoa melingkar seperti sebelumnya, lalu berjalan turun menuju pos 1. Perjalanan kami tidak begitu terasa lelah, karena kami terus bercanda. Jika kemarin dari pos 3 - pos 4 kami butuh waktu 3,5 jam untuk naik, saat turun, kami hanya menempuhnya dengan waktu 2 jam. Pukul 11.15 WIB kami sudah sampai di pos 3. 

Kami break cukup lama disini. Seperti kemarin, kami membiarkan Diki tidur untuk mengembalikan staminanya.

11.30 WIB

Tidur 15 menit rasanya sudah cukup untuk membuat semangat dan tenaga kembali hidup. Kami melanjutkan perjalanan. Dan kami memilih jalur yang sama seperti saat naik; jalur sabana. Sama juga seperti kemarin saat perjalanan naik dari pos 2 menuju pos 3, kabut menjadi teman sepanjang perjalanan. Kalau pas kabutnya pergi, reflek, sadar kamera. hehehe.


Kabut jadi penghias


Sadar kamera

Setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam, kami sampai pos 2. tepatnya pukul 12.50 WIB. Break sebentar, lalu kami lanjut turun.


Break sejenak


Nah, setelah keluar hutan dan masuk wilayah perkebunan teh, lelah yang sangat lelah mulai datang. Ditambah malas karena treknya berupa jalan makadam. Terasa berat dan perih di jari-jari kaki.

Meskipun lelah, kami tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dengan tidak mengambil gambar saat melewati hamparan kebun teh yang sangat luas dan rapi. Lelah kami sedikit terobati dengan pemandangan yang begitu menakjubkan ini.


Senyum sedikit memaksa. Efek lelah.


Gila sudah tidak manjur lagi untuk menghilangkan lelah. Motivasinya, cepat sampai maka cepat istirahat.

15.30 WIB

Kami sampai di pos 1, rumah Pak RT.

Walhasil, kami pulang ke Malang. Dengan penuh kebahagiaan. Tanpa sedikitpun rasa kecewa.

Satu kata untuk Gunung Arjuno via Lawang;

Menakjubkan!


!!!

Malang, 25 November 2016

Komentar

  1. Terima kasih gus ceritanya,serasa ikut merasakan lelah bahagia ndaki ke Arjuno ��... huhuhu... tahun depan kayaknya harus terealisasi.. ������

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer