Tidur Fajar

Semalaman aku tak tidur karena piket jaga pondok bersama teman-teman sekamarku. Kami duduk di depan ndalem kyai. Membicarakan baik buruk banyak orang sambil bercanda, minum teh, lalu sesekali melihat video-video instagram, menunggu waktu sahur datang, lalu kembali ke kamar. 

Aku harus tidur. Agenda di pagi hari ini tidak boleh aku tinggalkan. Jam 02.45 waktu Indonesia Barat. Aku tidur. 

Beberapa kali teman-temanku membangunkanku untuk sholat shubuh, tapi tidak kuhiraukan. Mataku lelah. Malas. Lebih memilih untuk tetap terpejam. 

Entah pukul berapa, aku sudah berada di depan sebuah rumah besar. Entah milik siapa. Ada Abi dan Pakdhe Mus. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah, dan aku reflek mengikuti mereka. Kami menunggu di ruang tamu dengan beberapa tamu. Mereka berbincang, menunggu. Tak lama, seorang muda bersarung dan berkopyah keluar menemui kami semua. "Habib sedang sakit. Hanya bisa ditemui 3 tamu saja. Gantian." lalu dia mempersilahkan orang paling depan untuk masuk. Abi dan Pakdhe Mus cepat menyusul. Aku tertahan. "Hanya 3 orang."

Mataku kemudian tertarik pada seseorang yang berjalan masuk dari pintu depan. Beliau berjalan sendirian, membungkuk tanpa tongkat, dan sangat pelan sampai sofa, lalu duduk di sebelahku. Aku terdiam. Terperanga, kagum, takut, sungkan, sudah tidak bisa aku definisikan pada momen ini. Kyai Maimun Zubair duduk di sebelahku dan aku tidak tau harus bagaimana. 

Tidak lama Mbah Mun -sapaan akrab kami, santrinya, kepada beliau- duduk, lalu bangkit berdiri. Dalam momen seperti ini, biasanya santri akan berebut untuk menolong beliau untuk berdiri, lalu menuntun beliau berjalan. Bukan untuk niat membantu, namun simbol hormat, dan harapan bisa tertular barokah. Aku menoleh kanan kiri. "tak ada wajah santri selain aku disini." Tanggap, aku mempersilahkan tanganku kepada beliau agar digunakan untuk tumpuan.

"Tanganmu lemes, cung." 

Aku hanya mengiyakan sembari tersenyum getir. 

Beliau bangkit, lalu tangan kanannya meraih melingkar leherku seperti merangkul. Tangan kananku meraih tangan beliau sehingga mengharuskanku membungkuk mensejajarkan tinggi tubuhku dengan beliau, sedangkan tangan kiriku melingkar di pinggul beliau. Aku merasa sangat. Sangat. Sangat dekat. Jarak wajahku dengan beliau tak sampai satu telapak tangan. Badanku bahkan erat menempel pada tubuh beliau. Dengan kuat yang kupaksa, aku berjalan beriringan mengikuti beliau masuk ke dalam rumah. Seorang muda bersarung tadi tak berkata apa-apa. Hanya diam mengisyaratkan persetujuan masuknya kami berdua ke dalam.

Perlahan-lahan, kami berjalan. Mbah Mun tiba-tiba mencium pipi kiriku lama,

"Pipimu kok lembab nemen. Ketoro ora tau sinau, mesthi."

Aku tersedak batu besar namun tak bisa batuk. Rasanya seperti baru saja dipukul palu Thor yang disertai kilat yang menyengat. 

Aku didatangi Mataharinya Para Ulama fajar ini. Termasuk sesuatu yang jarang terjadi padaku. Tidur kemudian bermimpi bertemu seseorang yang orang-orang anggap sebagai seseorang yang penting. Entah itu guru, orang tua, kekasih, atau ulama. Tidurku selalu melewati batas tidur wajar sehingga apa yang aku impikan selama tidur, hilang tertelan amnesia tidur. Aku tak pernah ingat aku bermimpi apa. Sekali ingat, kadang hanya mimpi-mimpi tak jelas yang tak lebih dari bunga tidur.

Mergosono, di suatu pagi

Komentar

Postingan Populer