Ujian Remidi; Gunung Sindoro via Kledung


Dan akhirnya setelah sekian lama tidak melakukan aktifitas pendakian, pada hari Sabtu, pada akhir bulan sya'ban 1439 H kemarin, atau lebih tepatnya pada tanggal 12 Mei 2018, aku bersama beberapa saudaraku mendaki Gunung Sindoro, salah satu gunung yang mana bagian timur gunung masuk wilayah Kabupaten Temanggung, dan gunung bagian barat masuk wilayah Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Gunung ini memiliki ketinggian 3153 meter di atas permukaan air laut dan memiliki kawah yang disertai jurang di sisi barat lau ke selatan gunung dan masih aktif.

Mengapa Sindoro?
Karena tahun 2016 lalu aku belum berhasil menapaki puncak gunung ini. Padahal tinggal hitungan menit saja aku dan timku sampai puncak. Apalah daya, sampai di pos 5 Sindoro via Jalur Bansari saat itu kami sudah terbuai dengan indah pemandangan Sindoro bagian timur dan view Sumbing yang, Ah, entahlah. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Cukup sampai pos 5 saja. 

Alibi. Ha Ha Ha.

Remidi. Dan kali ini harus lulus. Begitulah. Lagi pula rekan satu timku belum pernah menapaki gunung ini. Jadi mereka setuju dengan pilihanku; Sindoro.

Menurut informasi yang kulihat di website infopendaki.com, ada 4 jalur pendakian menuju puncak gunung ini. Jalur Sikatok atau Tambi (Wonosobo) dari sisi utara gunung merupakan jalur tercepat, Jalur Sibajak atau Bansari (Temanggung) dari sisi timur, yang mana pada tahun 2016 lalu sudah pernah kulewati, kemudian Jalur Katekan (Temanggung) dari sisi timur laut, dan Jalur Kledung (Temanggung) yang mana merupakan jalur paling populer di kalangan para pendaki. Entahlah nanti aku lewat jalur mana. Yang jelas antara Kledung atau Tambi, atau keduanya. 

________________________

Jum'at, 11 Mei 2018
18.00 WIB

Aku dan Aad (adik kandungku) sudah menyiapkan barang-barang yang dibebankan kepada kami. Satu set nesting dan kompor, peralatan pribadi kami, tali, logistik minuman; kopi, teh, dan gula. Setengah jam kami bersiap, Idon (sepupuku dari Sragen) datang bersama Aim (adiknya). Idon ikut tim kami ke Sindoro, Aim tidak. Setelah siap, aku, Idon dan Aad berangkat menuju Rumah Kopi di Desa Wonosari. Nava (sepupuku) juga sedang bersiap disana. Peralatan mendaki kami, terutama peralatan kelompok seperti tenda, kompor dan nesting, carrier, matras, SB, sepatu, rata-rata memang kami simpan di sini. Agar jika sewaktu-waktu kami akan mendaki, gampang mencari alatnya. Maklumlah, alat-alat kami gunakan bersama. Milikmu milikku, milikku ya milikku. he he he. 

rumah kopi

Kami berangkat sekitar pukul 19.00 WIB dari Kecamatan Tempuran. Aku berboncengan dengan Nava, sedangkan Idon dengan adekku. Tujuan awal kami adalah Grabag, berburu perlengkapan pendakian yang masih kurang. Aku dan Nava menuju rumah rekan Nava, guna meminjam carrier dan sepatu. Sedangkan Idon dan Aad ke rumah rekan Idon untuk meminjam sleeping bag. Aku menunggu Idon cukup lama disini. Barang kali 2-3 toples jajanan Slondok yang disuguhkan kepadaku amblas.

Setelah kurang lebih 1 jam kami bercengkrama setelah Idon dan Aad datang, kami undur diri. Pukul 22.00 WIB kami meluncur dari Grabag menuju Temanggung.  Jalanan lengang dengan langit cerah berbintang dan dingin. Dalam benakku, sesampai di rumah Wajih, langsung tidur agar esok bisa beranjak pagi-pagi. 

23.00 WIB

Kami sampai di rumah Wajih. Udara Temanggung selalu dingin meskipun di musim penghujan seperti waktu itu. Kami berdiam cukup lama di depan pintu menunggu Wajih membukakan pintu. Wajih adalah sepupu tuaku. Ayahnya adalah anak pertama Kakekku, sedangkan ayahku adalah anak kelima. Rumahnya di Temanggung, tepatnya di Kecamatan Ngadirejo. Saat kecil, aku dan sepupu yang lain senang sekali bermain di rumah Wajih. Dingin.

rumah wajih

Setelah masuk, kami ke kamarnya di atas. Begitu duduk, kami berdiskusi seputar rencana esok hari. Mau lewat jalur mana, berangkat pukul berapa, cek kekurangan peralatan, kemudian kami beramah-tamah. Ada gitar seharga 1 juta yang hanya bisa kurasakan disini. Rencana 'sampai langsung tidur' walhasil hanya menjadi wacana. Kami bernyanyi bersama hingga subuh menjelang.

12 Mei 2018
07.00 WIB

Lauk pauk untuk makan di gunung termasuk beras, sayur sayuran, daging, bumbu, dan jajanan belum disiapkan. Begitu juga dengan baterai, P3K, dan air mineral. Kami membagi tugas. Nava dan Wajih keluar untuk belanja. Aku tetap di rumah Wajih dengan Aad dan Idon untuk mengelompokan alat atau bahan agar packing lebih rapi dan nanti mudah mengambil saat dibutuhkan. Budhe pagi itu ikut ribet membantu kami sebelum beliau berangkat ke pasar. Beliau menyiapkan banyak sekali jajanan, bakso mentah, beras, kopi, gula, dan lainnya. Aku tak habis berterima kasih dan memohon maaf. Budhe bagiku seperti ibu kandungku sendiri. Yang tidak pernah berpikir dua kali untuk membantuku dalam segala hal. Petuah beliau selalu adem, selalu tersenyum, dan sama sekali tidak pernah membeda-bedakan. 

Kurang lebih pada pukul 09.00 WIB aku, Aad, dan juga Idon selesai. Nava dan Wajih masih belum kembali. Kami ngobrol santai menunggu mereka berdua. Namun sampai matahari berada di ujung kepalaku, mereka tak kunjung datang. Aad menuruti keinginan matanya untuk tidur. Tak lama Idon menyusul. Karena bosan dan sendirian, aku menyusul. Lumayan lah untuk mengisi tenaga. 

Idon membangunkanku pukul 13.00. Wajih sudah datang, namun Nava belum juga sampai. Tidak ada konfirmasi kemana ia pergi. Belum juga mulai berjalan, sudah hilang ini anak

Sekitar pukul 14.15 WIB Nava datang membawa peralatan yang ia buru. Masih belum lengkap. Packing ulang dengan singkat, lalu kami berangkat. Kami masih harus mampir di supermarket untuk membeli beberapa bahan. Baterai, tissue kering dan tissue basah, balsem, koyo, pembalut, dan juga tissue magic. 

Oke. Jangan salah kaprah. Ada penjelasan logis mengapa kami membeli barang macam pembalut dan tissue magic. Jadi begini, pembalut punya kegunaan lain selain untuk menyerap yang bocor. Bukan untuk mabuk yang jelas. Pembalut diciptakan lembut dan empuk. Layaknya bantalan mini begitu. Jadi kami menggunakannya untuk bantalan bahu kami agar tidak lecet dan lebih nyaman saat menenteng tas gunung yang seperti kulkas itu. Memang, desain carrier jaman sekarang sebenarnya sudah bagus dan bantalan pada tentengannya biasanya sudah empuk. Tapi sering kali, karena beban carrier juga banyak dan berat, bantalannya jadi tidak terasa. Nah, pembalut bisa jadi salah satu solusi. Empuk, tapi tidak ribet dan tebal seperti popok bayi. 

Kalau tissue magic, hmm, sebenarnya tidak butuh-butuh-banget, sih. Aku tidak paham bagaimana fungsi dan cara kerja sebenarnya dari benda ini. Namun info yang aku dapatkan dari internet bilang bahwa tissue magic bisa dijadikan alternatif lain untuk obat keram atau keseleo. Sebenarnya kami juga sudah membawa balsem dan koyo' untuk mengantisipasi kram, keseleo, atau hanya sekedar pegal. Tapi ada yang bilang bahwa tissue magic lebih jos dibanding balsem manapun. Yasudah, kami mencobanya.

Terkait dengan ceklist perlengkapan dan bahan ini tidak mudah, kawan. Setiap akan melakukan pendakian, paling tidak aku dan kelompokku harus mengecek 3-5 kali peralatan dan bahan kami hingga benar-benar lengkap. Beberapa orang bilang bahwa ceklist barang tidak harus seteliti itu. Prioritaskan peralatan yang sering dipakai saja. Sedangkan yang lainnya ya tidak usah sampe jungkir balik nyarinya. Toh nanti malah hanya menambah beban di pundak. Tapi belajar dari pengalaman, tidak apa tasnya sedikit berat, daripada harus menderita saat kita butuh sesuatu tapi tidak ada. Bagiku, keamanan adalah prioritas utama.

14.45 WIB
Basecamp Kledung

Basecamp Kledung.

Kami sampai di basecamp Kledung menjelang waktu ashar. Retribusi parkir waktu itu kalau tidak salah IDR 10.000 per sepeda motor. Basecamp Kledung ini bertempat tepat di pinggir jalan utama Temanggung-Wonosobo. Jika kita berdiri di basecamp ini dan menghadap utara, maka Gunung Sindoro ada di sebelah tenggara, dan Gunung Sumbing ada di sebelah barat laut. Dekat sekali. Sumbing punya basecamp juga di Kledung di sisi barat jalan. Basecamp Kledung Sindoro ini bertempat di Balai Keserasian Warga Desa Kledung, Semacam gelanggang olah raga begitu.

Kami rehat sebentar dan melakukan retribusi pendaftaran. Tarif per kepala kalau tidak salah (lagi), sekitar IDR 15.000. Kami disuruh mengisikan data identitas kelompok, terdiri dari berapa orang, siapa ketua kelompoknya, rencana berangkat dan turun tanggal berapa dan lewat jalur mana, dan nomor yang dapat dihubungi. Lalu kami mendapat 3 tiket. Termasuk diantaranya adalah jaminan keselamatan jasa raharja. 

Perlu diketahui, bahwa gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah rata-rata sudah dikelola dengan sangat baik. Masyarakat sekitar lereng gunung juga punya kepedulian lebih terhadap gunung yang ada di dekat mereka, sehingga melahirkan komunitas-komunitas yang peduli terhadap Ibu mereka. 

Setelah melakukan retribusi pendaftaran, aku dan Nava berkeliling mencari botol bekas untuk pemenuhan logistik air. Anehnya, kami tidak menemukan tumpukan sampah di sekitar basecamp. Biasanya kami memang tidak membawa air dari rumah karena di basecamp pasti banyak botol-botol bekas pendaki yang turun dari atas. Daripada kami membawa sendiri botol dari bawah dan akhirnya hanya akan menambah sampah di basecamp, lebih baik memanfaatkan botol bekas di tumpukan sampah yang pasti menggunung di basecamp. Air juga tinggal mengisi di sumber sekitaran basecamp. Air asli dari gunung, belum tercampur kaporit, jernih, segar, dan yang mesti sehat. Tapi meski sudah berputar-putar, aku dan Nava tidak menemukan tumpukan sampah itu. Akhirnya kami iuran lagi untuk membeli air mineral di supermarket terdekat. 

Setelah semua peralatan dan logistik siap, sekali lagi kami melakukan packing untuk membagi beban. Kami mulai berjalan tepat pukul 15.15 WIB.

Packing ulang.

Di depan basecamp, ada pos pangkalan ojek pendaki. Kami dicegat dan ditawari untuk ngojek sampe setelah pos 1. Bisa hemat 2 jam katanya. Tarifnya IDR 25000 per orang. Boleh juga, nih. Dengan sigap, para tukang ojek langsung menghidupkan sepeda mereka. Tak sampai 5 menit, 5 Sepeda motor melaju cepat menuju arah puncak.

Trek awal setelah basecamp berupa jalanan makadam melewati pemukiman warga Desa Kledung. Trek seperti ini nih yang sering bikin kaki cepet pegel dan kaku. Wah, jasa 'ojek pendaki' ini sangat membantu. Rumah penduduk disini punya ciri khas latar ombo, halaman luas, terdapat dudukan dari bambu yang digunakan untuk menjemur tembakau. Terlihat beberapa penduduk yang sedang memasukkan tembakau karena sinar matahari sudah tergantikan dengan kabut tipis. Mereka tak mau tembakau mereka rusak sebab terkena butir air yang dibawa oleh kabut. Aroma tembakau yang dijemur menyeruak kesetiap sudut desa. Kami berlima yang sama-sama penikmat tembakau Temanggung terbuai oleh suasana seperti ini.

5 menit berlalu, view berganti menjadi lahan penduduk. Tanaman yang nampak dari jalan adalah sawi, kubis, wortel, namun lebih didominasi dengan tembakau. Kalau boleh kubilang, tanah yang tertanam selain tembakau tidak lebih dari 25%, sedangkan selebihnya tembakau. Warga Temanggung dan tembakau memang seakan tidak bisa dipisahkan barang sejengkal. Tembakau adalah anak mereka. Barang siapa mengusiknya, ya jangan harap ibu-ibunya hanya diam saja.

Lahan penduduk.

Sepeda melaju cepat melewati jalanan makadam yang lengang. Ada beberapa kelompok pendaki yang memilih berjalan daripada menaiki ojek. Tidak masalah bagiku. Setiap orang punya pilihan masing-masing. he he he.

Setelah kurang lebih 10 menit, lahan penduduk tergantikan oleh pepohonan besar dan rindang. Trek menyempit dan berubah menjadi jalanan setapak yang lebarnya tak lebih dari 2 meter. Kecepatan sepeda sama sekali tidak berkurang. Jalanan berkelok dan licin sama sekali tidak jadi sebab mereka mengurangi kecepatan. Kalau di Jakarta ada Roller Coaster di Dufan, maka di Sindoro ada Pribumi Kledung dengan sepeda mereka. Cukup membayar 25 ribu saja, kita bisa menikmati sensasi seperti naik roller coaster. Bedanya, kalau disini entah apa akan selalu berakhir selamat atau tidak. Bagaimana tidak, untuk mempertahankan berat badanku di atas sepeda saja susah. Lha ini ditambah menenteng carrier. Kami hanya bisa pegangan behel sepeda di bagian belakang jok. Kalau ketemu gundukan tanah, ya tubuh kami sedikit terlempar ke atas. 

Kalau kata Nava, "Ora safety blas!". 

Entah nyawaku tertinggal dimana waktu itu.

Di beberapa catatan perjalanan yang kubaca di blog-blog, keterangan estimasi perjalanan dari basecamp menuju pos 1 adalah 1,5-2 jam. Tapi dengan ojek, 20 menit saja kami sampai pos 1 yang ditandai dengan gapura yang bertuliskan "Selamat Mendaki Gunung Sindoro". Ah, salah. Melewati, maksudnya.

15.45 WIB
Pangkalan Ojek Antara Pos 1 dan Pos 2

Begitu sampai pangkalan ojek di tengah-tengah pos 1 dan pos 2, kami tertawa. Itu tadi gila!

Pangkalan ojek Gunung Sindoro

Spot sekitar pangkalan ojek ini terbilang cukup luas dan dapat digunakan untuk mendirikan kurang lebih 5-6 tenda. Ada gubuk sederhana buatan warga untuk mangkalnya tukang ojek. Saat itu ada penjual pentol dan air mineral disitu. Sayangnya, spot ini dipenuhi dengan sampah para pendaki. Mungkin ini alasan mengapa aku dan Nava tidak dapat menemukan tempat sampah saat di basecamp. Ternyata banyak pendaki yang membuang sampah mereka di spot ini. 

Kami melakukan pemanasan dan doa bersama setelah semua sampai. Saat di basecamp tadi tidak sempat melakukannya karena kami langsung dikerubungi tukang ojek. Aku dan empat orang lainnya sama-sama belum pernah mendaki Sindoro dari jalur ini. Karena itu, aku melakukan briefing tentang 'aturan mendaki'; saling tunggu, tidak boleh terpisah, kalau terpaksa berpisah harus ada temannya, banyak membaca solawat saat berjalan, mengurangi bicara yang tidak perlu, menjaga kesopanan, dan lain-lain, kami berdoa bersama. Diawali dengan Fatihah sebagai washilah, lalu kami membaca Al-Ikhlas dan Muawidzatain, Ayat Kursyi, istighfar, sholawat, lalu kami tos. Berharap diberi kelancaran dan keselamatan selama perjalanan.

Satu hal yang harus kami ingat kedepan selama berjalan;
Puncak tertinggi dari setiap perjalanan pendakian adalah dapat pulang ke rumah dengan selamat tanpa meninggalkan apapun selain jejak kaki, tanpa mengambil apapun selain foto, tanpa membakar apapun selain semangat, dan tanpa membunuh apapun selain waktu.

16.00 WIB

Perjalanan dimulai. Wajih berjalan paling depan, diikuti oleh Idon, Aad, Nava, dan aku (selalu) menjadi yang paling belakang saat mendaki.

Trek setelah pangkalan ojek

Trek pendakian setelah pangkalan ojek berupa tanah berwarna coklat, tidak berundak, juga lumayan menanjak. Kami berlima berjalan santai. Saat itu kami bertemu kelompok-kelompok pendaki lain. Maklum, weekend. Tidak sampai satu jam kami sampai di pos 2.

Pos II
1980 mdpl

Kami rehat sejenak. Meletakkan carrier, merenggangkan tubuh, melepas dahaga, dan menghabiskan sebatang rokok sambil berbincang santai dengan pendaki lain yang juga sedang istirahat disitu. 

Masih 1980 mdpl....

Ada dua orang pendaki yang membawa daypack dan beralaskan sandal jepit. Lekukan wajahnya tegas tapi tidak seram. Gestur tubuh mereka santai dan nampak seperti sudah sangat mengenal daerah ini. 

Kami -tidak hanya kelompokku saja, menyapa dan menanyakan pertanyaan basa basi untuk beramah tamah. Ternyata mereka berdua warga Desa Kledung. Naik untuk keperluan mengevakuasi pendaki yang cidera kakinya di pos 3. Dari keterangan mereka berdua, perjalanan mereka dari pangkalan ojek menuju pos 2 hanya 10 menit saja. Jangan pernah jadikan penduduk lokal sebagai parameter estimasi berjalan dalam pendakian.

Setelah keringat mulai kering, kami melanjutkan perjalanan. Formasi berjalan masih sama seperti sebelumnya. Wajih dan Aim di depan, diikuti Nava dan Aad, lalu aku paling belakang.

17.31 WIB
Pos Watu Longko

Pos ini sebenarnya hanya semacam pos bayangan antara pos 2 dan pos 3. Spotnya tidak begitu luas, hanya muat untuk 1 tenda, dan terdapat batu yang bentuknya unik. Jarak tempuh antara pos 2 dengan Pos Watu Longko kurang lebih 2 jam berjalan santai. Kami sampai di pos ini saat langit mulai remang menuju gelap. Untung saja kami telah menjama' sholat dhuhur dan ashar saat masih di rumah wajih. Jadi kami tidak perlu berhenti di tengah hutan untuk mendirikan sholat.

Kami hanya break sebentar untuk mengambil nafas dan foto. Barangkali hanya 5 menit saja, kemudian kami melanjutkan perjalanan.

Area Watu Longko
Setelah 10 menit berjalan, terdengar adzan maghrib berkumandang. Kami break untuk menghormati waktu maghrib. Setelah sebat, kami melanjutkan perjalanan saat langit sudah benar-benar gelap. Langkah kami percepat dan jarak kami perdekat. 

18.34 WIB
Pos III 2315 mdpl

Kami sampai di pos III dengan kondisi kekuatan tubuh tinggal separuh. Selama perjalanan dari Watu Longko hingga Pos III, kami tidak banyak bicara. Pandangan kami terfokus pada trek tanah merah berundak yang tak begitu jelas karena malam hari. Kami tidak banyak berhenti. Tak usah banyak bicara, sudah lelah, segera sampai camp ground, segera tidur.

Diluar perkiraanku, pos III ini ternyata cukup luas. Mmm, mungkin 10 hingga 15 tenda dapat didirikan di spot ini. Kami berencana untuk mendirikan tenda di Sunrise Camp. Seperti namanya, spot yang katanya lebar dan terbuka sekali ini saat pagi menjelang, pendaki yang camp disini hanya tinggal keluar dari tendanya, dan Sunrise menyambut di depan mata. Saat masih di rumah Wajih, kami berlima sepakat untuk camp di Sunrise Camp demi mendapatkan  spot yang instagramable. Menurut salah satu sumber yang kubaca, jarak dari pos III hingga Sunrise Camp ini sekitar 2 jam berjalan santai. 

Kami berhenti untuk makan biskuit. Perut kami sudah protes sejak di Watu Longko tadi. Air mineral yang kami bawa juga kami hemat karena di gunung ini tak ada sumber air. Oleh karena itu, tenaga kami terkuras cepat. Walhasil tidak hanya logistik saja yang dihemat, namun bicara juga kami hemat. Entah saat itu siapa yang tak ingin melanjutkan perjalanan, namun percakapan kami berlima saat istirahat di Pos III melahirkan opsi baru; camp di pos III saja, diatas penuh.

Nyamil dulu
Aku dan Nava memutuskan untuk naik guna mengecek kondisi Sunrise Camp. Kami berlari naik meninggalkan barang bawaan kami di pos III. Aku juga lelah, ingin cepat istirahat.

Belum sampai 1 jam kami berjalan ke atas, kami berpapasan dengan rombongan yang tadi naik beriringan dengan kami. "Nduwur kebhek, Mas. Camp nang pos III wae."

Mata kami berdua saling tatap. Baiklah, camp dibawah tidak buruk juga. Aku dan Nava kembali ke pos III dengan langkah berat.

...

Sesampai di pos III, kami sigap membongkar carrier kami masing-masing.
Aad, Nava, dan Aku mendirikan tenda. Sedangkan Idon dan Wajih mempersiapkan makan malam dan kopi. Kami semua lelah dan lapar.

Nasi dengan Mie Goreng bercampur bakso amblas dengan sekejap. Kami kenyang dan tenaga kami mulai kembali. Kopi Papupa yang kami seduh menemani malam kami yang dingin. Saat itu, Nava, mengakui dosanya. Terjawab sudah mengapa Nava lama sekali pergi saat masih berada di rumah Wajih. Ada misi lain selain berburu peralatan; menemui cintanya.


Cinta memang nyata membuat inangnya kehilangan akal sehat.

Kami berlima punya satu kesamaan yang mencolok; susah bangun. Sehingga bahasan rencana untuk "bangun tidur" jam berapa menjadi begitu sangat penting diantara kami. Alarm dipasang di masing-masing hp secara bertahap dan tidak hanya sekali saja. Selanjutnya, tubuh kami bungkus rapat dengan sleeping bag, mematikan lentera, kemudian tidur.

02.30 WIB
Persiapan Summit Attack

Kami bangun tepat waktu dan tidak ada yang tak bangun. Sungguh sebuah prestasi karena diluar ekspektasi, dan harus diapresiasi. 

Persiapan Summit Attack

Secara bergantian, kami melaksanakan sholat maghrib dan isya' yang dikumpulkan (baca; jama') jadi satu. Kemudian kami packing. Udara luar terasa lebih dingin dari sebelum kami tidur. Langit dan bintangnya yang terang sekali, menyapa kami. 

Memotret milky way ternyata tidak mudah

Aku dikejutkan dengan kedatangan Aim, adik kandung Idon. Kemarin, sebelum kami berangkat, Aim bilang kalau dia tidak bisa bergabung karena ada acara di Pondok Tegalrejo, Magelang. Ternyata setelah acara, Aim dengan rekannya langsung berangkat menuju Temanggung untuk menyusulku dan yang lain. Dia berjalan dari basecamp Kledung sekitar pukul 22.00 WIB dan langsung mencari tenda kami di Pos III. Aim menolak untuk kami ajak summit bareng. "Wah, kesel, Mas. Aku turu wae lah."

Dua carrier berisikan sleeping bag, kompor, nesting, air mineral, dan beberapa jajanan telah siap. Peralatan pribadi seperti tas kecil, P3K, senter kepala, dan sebagainya kami pastikan tidak tertinggal. Karena trek menuju puncak biasanya berat, hanya barang-barang yang menurut kami penting saja yang kami bawa, sisanya kami tinggalkan di tenda. Agar hemat tenaga tentunya. Pemanasan ringan kami lakukan agar otot-otot tidak kaku dan tidak keram. Tepat pukul 04.00 WIB, summit attack dimulai.

Formasi berjalan kami tidak berubah. Wajih dan Idon di depan, diikuti Aad, Nava kemudian Aku. Trek setelah pos III yang berupa tanah merah ini lumayan menyita banyak tenaga. Menanjak, licin, dan jarang ada pijakan kaki yang enak

04.28 WIB
Sunrise Camp 2423 mdpl

Spot ini ternyata tidak lebih luas dibanding pos III. Tapi kalau mau berburu sunrise, sepertinya tempat ini memang sangat ideal untuk camp. Jarak antara pos III dan sunrise camp juga hanya 30 menit berjalan santai. Sepertinya nanggung rasanya jika tidak sekalian camp di sunrise camp. Tapi pendaki yang tadi malam bilang bahwa sunrise camp penuh memang benar. Aku berkeliling mengecek, iya, memang penuh sekali. Kami baru tau, ternyata sunsire camp adalah batas tempat camping di trek via Kledung ini. Kukira pendaki masih bisa mendirikan tenda di pos IV. Ternyata tidak. 

Karena baru berjalan 30 menit, kami tidak berhenti di spot ini. Hanya mengambil gambar papan penanda ketinggian saja, lalu lanjut jalan.

Sunrise Camp

Trek semakin menanjak dan lebih sempit dibanding sebelumnya. Vegetasi setelah sunrise camp mulai jarang dan hanya terisikan pohon-pohon kecil yang aku tidak tau apa namanya. Dominasinya lebih pada ilalang. Dari sini lah mulai terlihat siapa yang lebih kerbau dibanding yang lain. Wajih dan Idon berjalan pelan. Aad di belakang mulai resah.

Adzan subuh berkumandang. Sekitar pukul 05.00 WIB kalau tidak salah waktu itu. Kami mencari spot untuk berhenti dan mendirikan sholat subuh secara bergantian. Kopi yang kami seduh saat di pos III dikeluarkan, kami menyambut matahari datang dengan secangkir cuilan surga.

Mendaki: bukan alasan untuk tidak sholat.

Dari tempat kami berhenti, Gunung Sumbing tanpa satir apapun terlihat gagah di sebelah tenggara. Sinar kemerahan milik sang surya perlahan muncul dari sisi sebelah kiri Gunung Sumbing. Menerangi bayangan Gunung Merapi dan Merbabu di belakangnya, lalu samar-samar Lawu terlihat jauh di belakang sana.






Puas berswafoto, sekitar pukul 06.20 WIB kami lanjut jalan.

07.00 WIB
Pos IV Batu Tatah 2838 mdpl

Kami berhenti sejenak untuk minum dan mengisi tenaga kembali. Pos Batu Tatah ini berupa tanah datar yang luasnya kira-kira cukup untuk mendirikan 3-4 tenda. Jika ditanya spot terbaik untuk foto, maka jawabannya adalah Batu Tatah. Ada batu-batu yang seperti ditata sedemikian rupa menjadi satu tumpuk batu besar sehingga pendaki dapat foto diatasnya, dengan background Gunung Sumbing. 

Kira-kira sekitar 10 menit kami berhenti di pos ini. Setelah itu kami melanjutkan trekking.

Batu yang ditata.

Menurutku, ujian terberat saat mendaki puncak sebuah gunung adalah menunggu. Sering kali aku tidak tahan menunggu rekan setim yang jalannya kurang cepat. Setelah pos IV, kelompok kami terpisah menjadi 2. Aad, Nava dan aku berjalan di depan. Kemudian dengan jarak kurang lebih 10-15 menit di belakang, Idon dan Wajih mengikuti.

Karena akhir pekan, jalanan menuju puncak padat dan ramai. Kami saling sapa dengan banyak pendaki yang entah itu sama-sama menuju puncak, atau sudah dari puncak.

Sebenarnya dari tempatku berdiri saat itu, ujung jalan sudah terlihat. Tapi aku tidak mau menganggapnya "puncak" karena, ya, sudah sering terbohongi. Jalan saja terus, nanti juga sampai puncak.

Setelah kurang lebih berjalan 2 jam, bau belerang mulai tercium samar. Pohon-pohon yang tumbuh sudah tak berdaun dan batangnya abu-abu seperti terselimut abu. Yang di depan itu pasti puncak.  

Aku, Nava, dan Aad berhenti untuk menunggu Wajih dan Idon. Sebat dulu, lah, sambil minum susu.
Kami tidak mau menjadi pendaki yang pelit dan tidak peduli sekitar, susu itu tidak kami nikmati sendiri.

...

"Nyusu, Mas."

"Putih opo coklat, Mas? Hahahaha" Jawab salah satu mas pendaki yang menjawab tawaran kami.

"Putih, Mas. Seng coklat luwih larang. Hahahaha" jawab Nava, kemudian diikuti tawa keras dari kami semua. Kemudian Mas tadi meminumnya. Begitulah pendaki, saling sapa, saling bercanda, terlepas dari atribut apapun yang menempel pada individu-individu itu. Tidak ada pendaki pejabat, pendaki kyai, pendaki santri, yang ada ya Pendaki saja. Sama-sama harus menjaga adab ketika di gunung, menjaga kebersihan, tidak boleh sak karepe dewe, saling menghormati sesama pendaki, tidak boleh merusak apapun yang ada di gunung, dan lain sebagainya.  
"Mbak, monggo susune."

Kalau pada pendaki cewek, rata-rata tawaran kami ditolak. "Mboten, Mas. Matur nuwun.". Tak apa, yang penting sudah menawarkan.

"Mas, itu susunya manis apa enggak?" Ada pendaki wanita berlogat sunda mendekati kami.

"Oh, manis kok, mbak. Susu kental manis ini. Monggo." Aku menyodorkan sebotol susu kepada pendaki wanita itu.

"Lho, mbak, susune dewe kurang, po?" Pendaki lain (bukan dari kelompok kami), menyaut. Mbak'e keselek. Kami tertawa cekiki'an.

"Kalo punya sendiri susah minumnya, Mas." Mbak'e tadi menyaut, membuat kami diam sejenak, canggung, saling tatap, kemudian kami tertawa lebih keras dan lepas.

Efek susu
...

Sekitar 10 menit kami berhenti dan nyusu. Setelah penat mulai pergi, kami menjemputnya kembali.

Dari tempat tadi, kami berjalan beriringan. Aku paling depan, diikuti Nava, lalu Aad, Wajih, kemudian Idon menyusul paling belakang. Kecepatan berjalan kami tingkatkan, kami semua yakin, yang terlihat di depan itu adalah puncak sejati. Bukan puncak bayangan. 

Setelah kurang lebih 20 menit berjalan, akhirnya kami sampai;

09.30 WIB
PUNCAK JALURANGGRUNGGONDONG
3153 mdpl

Akhirnya LULUS!

Nava; Cinta adalah prioritas

Idon; Selow, seng penting tekan.

Aad; ngakunya punya asma, eh ternyata Kerbau

Wajih; Shohibul Jabal

Tidak seperti kebanyakan gunung lainnya, puncak Gunung Sindoro ini luas sekali. Terdapat kawah yang masih aktif dan sering mengeluarkan asap. Sehingga pepohonan yang tumbuh di puncaknya gundul, tak berdaun.

Kawah Sindoro

Pepohonan yang mati
Belum terlihat semua bagiannya.

Gunung Sumbing begitu gagah terlihat di sebelah tenggara, sekaligus syahdu karena berselimut awan. Di belakangnya, Merapi Merbabu berjajar dan tak kalah indah. Gunung Lawu juga menyapa kami dari kejauhan. Hari itu cerah sekali, seperti hati kami.

Sumbing, Merapi dan Merbabu, serta Lawu yang samar.

Kami bertemu dengan teman satu desa; Cholid, Zidan, dan Nadvil. Mereka ternyata juga naik dari Kledung dan camp di pos III seperti kami. Dunia memang sempit sekali.

Foto bareng sebelum turun.

Purna sudah salah satu misi mendaki kami; foto di puncak. Setelah kami rasa cukup, berfoto, ngopi lan ngudud, serta bercengkrama, kami turun saat waktu menunjukkan pukul 10.50 WIB.

Agar waktu menjadi lebih efisien, Aku dan Nava turun terlebih dahulu menuju pos III dengan sedikit berlari, untuk memasak. Yang lain menyusul di belakang.

Demi eksistensi diri, tentu saja aku dan Nava berhenti di spot-spot bagus untuk mengambil satu atau dua atau banyak foto. Kapan lagi coba?


Aku dan Nava berhenti cukup lama di Pos Watu Tatah. Untuk foto, tentu saja. Aim dan kelompoknya ternyata sudah berada disini.


Bagus, bukan?

Ini Aim.
Sekiranya ada spot bagus untuk foto, aku dan Nava melegakan untuk berhenti.

Fotografer: Nava

Fotografer: Aku


12.15 WIB
Pos III; Camp Ground

Setelah berlari kurang lebih selama satu jam (tidak termasuk berhenti untuk foto), kami berdua sampai di pos III dan langsung memasak nasi, sop, dan telor dadar. Kompor yang kami bawa ada dua, ditambah satu kompor dari kelompoknya Aim. Satu kompor untuk memasak nasi, satu untuk sop, dan satunya lagi untuk telor. Memasak menjadi lebih cepat dan lebih menghemat waktu.


Bagian nasi dan sop

Bagian kopi dan telor dadar

Selesai makan, sholat, ngopi, dan bersantai, kami bersiap untuk turun. Ada yang melipat tenda, sebagian mengemasi peralatan masak dan makan, lalu yang lain mengumpukan sampah jadi satu.

Isi tenaga!

Sampai kenyang.

Tepat pukul 15.00 WIB kami turun bersama-sama.

Kami agak berlari ketika turun. Alasan utamanya bukan karena agar cepat sampai, tapi karena kalau turunnya jalan, kaki cenderung lebih menahan beban. Tentu saja akan lebih menguras tenaga. Jadi kami sedikit berlari.

16.45 WIB
Pangkalan Ojek

Saat naik, kami membutuhkan waktu hampir 3 jam dari pangkalan ojek sampai pos III. Sedangkan saat turun, tidak sampai 2 jam kami sampai pangkalan ojek.

Idon dan Wajih memutuskan untuk memakai jasa ojek. Yang lain terpaksa berjalan karena uangnya habis. ha ha ha.

Keuntungan tidak ngojek: bisa foto di gapura. ha ha ha

Kami sampai basecamp saat adzan maghrib berkumandang.

Bersiap menuju tujuan utama: Rumah.

Tujuan pertama (baca: puncak) kami sudah tercapai dengan sukses, bahagia, dan selamat; tak ada yang tertinggal kecuali jejak kaki, tak ada yang terbakar kecuali semangat, tak ada yang terbunuh kecuali waktu, dan tak ada yang dibawa turun kecuali foto dan kenangan.

Saatnya untuk pulang ke rumah.


Malang, 15 Mei 2018 - 21 Maret 2019
Alkholily

Komentar

Postingan Populer