Kategori Komentar Netijen


Aku ingat, saat aku masih berada di bangku SMA, di rumah kedatangan tamu seorang alumni santri yang sudah menjadi tokoh agama di desa tempat ia tinggal. Sebut saja namanya Kang Zaid. Beliau adalah salah satu santri senior dan belajar pada Kakekku sejak beliau masih SD sampai menikah. Bahkan setelah menikah, beliau masih mengabdikan diri pada pesantren untuk mengajar.  Dan aku adalah salah satu murid beliau saat masih di bangku SMP dalam ilmu nahwu, Imrithy lebih rincinya. Aku menyambut kedatangannya dengan hormat, mempersilahkan masuk, lalu kami berbincang. Maksud kedatangan beliau di rumah adalah menemui Abi. Beliau ingin membicarakan sesuatu. Setelah Abi keluar, Abi menyuruhku untuk menyeduhkan kopi untuk beliau berdua.

Aku keluar membawa nampan berisikan 3 gelas kopi yang asapnya masih mengepul. Pembicaraan beliau berdua sempat terhenti karena kopi sudah siap. Setelah mencicipi kopi masing-masing, raut wajah Abi dan Kang Zaid mengencang. Sepertinya yang mereka bicarakan sedikit serius. Aku tetap pada posisiku dan menyimak apa yang sebenarnya sedang dibicarakan. Kurasa kehadiranku dalam forum tidak mengganggu beliau berdua. Jadi yasudah.

"Jadi dalam pengambilan kebijakan di masyarakat, salah satu resikonya adalah dikomentari. Wes mesthi kuwi, Kang. Dan seperti itu sudah biasa. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Nah, komentar ini macem-macem. Dan tidak semua komentar itu baik. Terus gimana kita menanggapinya? Ada kalanya komentar itu perlu kita dengar, kita fikirkan, lalu kita tanggapi, jika dalam komentar terdapat masukan, kita lakukan. Ada kalanya komentar itu hanya perlu kita dengar dan kita fikirkan saja, tanpa perlu kita tanggapi, atau bahkan kita lakukan. Dan adakalanya hanya perlu kita dengar saja, tidak perlu difikir, atau malah ditanggapi. 

Kalau sampean memimpin sebuah kelompok masyarakat, sampean harus adil. Semua komentar harus ditampung, Kang. Kita tidak boleh pilih-pilih dalam mendengar. Semua suara harus didengarkan. Tapi sampean harus ingat, bahwa tidak semua suara bisa difikirkan. Kalau semuanya sampean fikir, ya sampean sendiri yang mumet. Misalkan ada suara dari seseorang, dia berkomentar tentang diri kita, atau pada kebijakan yang kita ambil, dengarkan saja. Kalau suaranya hanya komentar saja, tidak membangun, atau bahkan menjelek-jelekkan, ya tidak usah difikirkan. Dengarkan saja sudah cukup. Kalau perlu ditanggapi ya ditanggapi dengan guyon. Biar kita tidak jadi sepaneng. Kalau sampean masih sepaneng, tandanya sampean masih memikirkan suara yang seharusnya ndak perlu sampean fikir itu. Sudah, dibuat santai saja. 

Berbeda lagi jika penyampaiannya baik dan didasarkan pada niat untuk memberikan saran, pikirkan apa yang dia suarakan. Kira-kira logis atau tidak untuk kita lakukan? Kira-kira mendatangkan kemaslahatan atau tidak? Pertimbangkan segalanya secara matang. Kalau ternyata tidak mungkin untuk dilakukan, yasudah lewat. Tidak usah dipikirkan lagi. Suara seperti ini termasuk pada suara yang harus didengar dan dipertimbangkan saja. Tidak perlu dilakukan.

Jika sarannya bagus dan memungkinkan sampean lakukan, ya lakukan saran atau masukannya! Suara yang begini ini yang harus didengar, difikir, lalu dilakukan. 

Komentar dari orang-orang di sekitar kita tidak akan pernah ada habisnya. Kita ikuti saran orang pertama, orang kedua akan komentar. Kita ikuti saran orang kedua, orang yang ketiga, keempat, dan kelima akan berkomentar. Ndak akan ada habisnya. Kalau semua suara sampean fikir, sampean ikuti, ya sampean yang mumet."

__________________________

Komentar

Postingan Populer