Mbah Rayi-kami

Siang yang sangat terik. Tak ada awan sebagai satir antara bumi dan matahari. Sayup-sayup dari jauh terdengar seruan-seruan untuk menegakkan sembahyang. Pria itu merenggangkan bdannya, menarik tangannya ke atas. Badannya di ongkakkan ke kanan dan ke kiri. Rupanya dia belum terbiasa tidur tanpa alas empuk. Badannya terasa seperti habis ditindihi.

"Tadi ada panggilan telepon untukmu." seseorang di sebelahnya yang tak kalah kacau ekspresinyamemecah lamunan kosong pria itu.

"ha?"

"Telepon. Ada telepon untukmu."

"Kapan?"

"Tadi. 3 kali namamu dipanggil namun kau tak turun."

"Dari siapa?"

"Mana aku tau?!"

-----

"Tolong sampaikan salamku pada pak guru, aku harus pulang saat ini juga."
Katanya terbata-bata namun tegas. Pria di depannya menganggukkan kepalanya sambil menerima uluran tangan lawan bicaranya itu. Ia pikir diam saja dan tak banyak bicara merupakan sikap paling tepat saat itu.

Pria itu melangkahkan kakinya kembali ke kamarnya. Semua mata di kamar itu, tak terkecuali, menatap prihatin pada pria itu. Tidak ada yang berani bertanya atau hanya sekedar menyapanya. Pria itu tak peduli dengan prasangka-prasangka orang-orang terhadap dirinya. Dengan cepat pria itu memasukkan 2 helai kaos oblong, 1 sarung, dompet, serta kopyah hitam barunya ke dalam tas pinggangnya, lalu berjalan cepat keluar kamar tanpa terlebih dulu berpamitan pada teman-teman sekamarnya. Ia tak mau membuang-buang waktunya. Dalam benaknya sekarang hanya ada 1 misi; sampai rumah sebelum bulan keluar.

Setelah semua perizinan selesai, pria itu bergegas meninggalkan tempat itu. Sudah ia pastikan, tak ada yang ketinggalan, termasuk semua memorinya. Langkahnya cepat menyusuri komplek-komplek santri lainnya. Entah dia sadari atau tidak, dirinya menjadi objek perhatian saat itu. Pria itu menggunakan celana jeans panjang, jaket parasit merah serta menenteng tas. Penampilan seperti itu tak pernah ada dalam lingkungannya, wajar saja pria itu jadi pusat perhatian. Pria itu tak peduli dengan tatapan-tatapan keheranan orang-orang. Beberapa kawannya yang kebetulan berpapasan dengan pria itu menyapanya, telinga pria itu mendengar, namun hatinya tidak. Dirabanya kembali sakunya, memastikan uangnya tak tertinggal. Tujuannya satu: Rumah.

-----

"Wes madhang hurung?"

"Dereng, mBah. Mangkeh mawon"

"Ning mbah ra nduwe opo-opo. Dak masakke ndog yo?"

"sampun, mbah. Mboten usah, mbah pinarak mawon."

Simbah akhirnya mengalah, duduk di kursi di dapur yang sekaligus jadi tempat makan itu, di samping jendela yang menghadap pekarangan rumah. Matanya menelusur jauh, seperti mencari serpihan-serpihan kenangan masa mudanya.

"Abi Ibukmu nang omah opo ora?"

"Mboten, mbah. Abi tindhak kantor, ibuk ngastho wonten sekolah. Kulo piyambak wonten ndalem, njug mriki mergi kangen kaleh mbah." Kata pria itu sedikit menggoda simbahnya sembari tersenyum dengan senyuman termanisnya.

"Halah," senyuman dari simbah tak kalah manis.

Bahkan di umur yang sudah berkepala 7, pun, simbah tetap tampak cantik dan manis. Busananya tak pernah berlebihan, khas orang jawa; berjarit batik serta baju kebaya sederhana dan kerudung yang warnanya menyesuaikan warna bajunya. Sederhana, sesederhana simbah sendiri.

"Piye ngajimu?"

"Alhamdulillah, mbah. Pangestunipun."

"Mbahmu iki mbiyen ora tau mondok. Mung ngaji karo abah, banjur kawin karo mbah kakung. Makane aku ora iso ngaji."

Simbah mulai berkisah. Pria itu sangat senang mendengarkan kisah-kisah dari simbah, apalagi jika menyangkut keluarga. Memang terkadang pria itu tak paham dengan apa yang dikisahkan, namun pria itu tetap menikmatinya. Ia suka dengan cara penyampaian kisah oleh simbahnya itu. Detail, lengkap dengan percakapan yang tidak ditambahi atau dikurangi, tokoh-tokoh yang begitu diingat oelh simbah, serta alur yang mengesankan. Ah, pria itu selalu terbuai oleh kisah-kisah dari simbahnya. Biasanya pria itu bersama saudara sepupunya, duduk berjajar di sebelah simbah, lalu hanyut dalam kisah-kisah simbah. Namun kali ini dia ingin sendirian, berduaan saja dengan simbahnya.

"Mengko bengi turu kene yo, ngancani simbah." rajuk simbah.

Sebenarnya simbah tidak sendirian, ada 2 santri setiap malamnya dijadwal bermalam di rumah simbah walau tak sekamar. Serta ada 1 cucu perempuan yang menempat -ditempatkan- di rumah untuk menemaninya. Bukan membantu, tapi menemani. Terkadang malah simbah yang membantu cucunya itu. Simbah orang yang sangat disiplin, mandiri, gemati, serta tegas perangainya. Di rumahnya tak ada sesuatu yang tak tertata dengan rapi. Semuanya. Termasuk jarum-jarum, sandal, seprei, atau hal-hal kecil lainnya. Simbah bergolongan darah A, tipe yang perfeksionis. Tak jarang cucu perempuannya yang menemani dimarahi karena tidak bersihan, atau tak rapi, atau bertingkah kurang pantas sebagai seorang wanita.

Simbah selalu mengajarkan kepada siapa saja bagaimana bertindak dan bersikap dengan baik. Laki-laki sebagai laki-laki. Perempuan sebagai perempuan. Simbah sangat tegas dalam hal ini. Tak memandang siapa, ketika dirasa memang kurang tepat, simbah akan berucap.

"Cah wedok kuwi lungguh ora koyo ngono! Sikile rapet banjur dilebokake nang ngisor kursi. Ora petingkrangan koyo ngono, ora pantes!"

Singkatnya begitu simbah berucap saat salah satu cucu perempuannya duduk bersila diatas kursi meja makan. Tak cukup disitu, pasti simbah akan berkisah panjang setelahnya. Ah, pria itu sangat senang jika simbahnya mulai berkisah panjang walau kadang tak paham. Wujud sayang, tentu saja.

Pria itu sangat mencintai simbahnya. Mungkin begitu juga sebaliknya dan semoga begitu. Sepengetahuan pria itu, simbahnya tak pernah membeda-bedakan orang. Termasuk cucunya yang banyak itu. Wajar mungkin saat ada 1 atau 2 cucu kesayangan, manusiawi. Namun yang lain tak lalu dicampakkan oleh simbahnya. Rata. Simbah menyayangi mereka.

"Nang kono krasan tho?"

"Nggeh ngeten niki, mbah. Nyuwun pangestune mawon."

"Kuncine selamet kui mung 2, sopan lan ngati-ati. Nek wes sopan lan ngati-ati, insyaallah selamet donyo lan akhirate."

Pria itu menatap dalam simbahnya, takdzim.

-----

Pikiran pria itu melayang-layang. Di bangku paling depan, tepat di belakang sopir bus jurusan Jember-Surabaya, pria itu diam. Matanya enggan berkedip. Rokok di tangannya ia biarkan habis dihirup angin. Sesekali mulutnya berbisik-bisik, membaca doa-doa agar setidaknya mengurangi kegalutannya saat itu. Namun nihil, malah membuatnya semakin hanyut dalam memori-memorinya. Pria itu mengambil sebatang rokok, lalu menghidupkannya. Tak lama, akhirnya tidur menyelimutinya.

Belum lama, getar handphone di saku celananya mengagetkannya.

"Sudah sampai mana? Bagaimana dengan adik?

"Serahkan padaku, semuanya sudah beres, ibuk tenang saja." Pria itu berusaha meyakinkan ibunya yang agaknya khawatir. Berkali-kali ibunya meneleponnya, namun baru ia angkat.

"Mungkin setelah matahari tenggelam aku baru sampai Magelang. Ibuk tak usah khawatir."

Tak ada jawaban, telepon ditutup.

-----

Suara klakson melengking memekakkan telinga, memecahkan lamunan pria itu. Ia menggerutu kesal, sopir bis yang ia naiki tak punya rasa sabar, sedikit-sedikit membunyikan klaksonnya.

Pria itu kembali larut dalam kenangan-kenangannya yang tanpa dikomando, bermunculan ke permukaan satu persatu. Seseorang menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu. Nafasnya memburu, sesenggukan, dan matanya basah. Pria itu mengelus lembut kepala gadis di sebelahnya, mengisyaratkannya untuk tetap tenang.

"Tidakkah engkau sdih, mas?"

"Air mataku sudah habis, dek. Sudahlah, tak bijak bila kita terus bersedih."

Gadis di sebelahnya diam, masih dalam isak tangisnya.

"Aku pernah satu rumah, bahkan satu alas dengannya, mas! Mungkin kau tak bisa merasakan apa yang aku rasakan! Aku begitu mencintainya dan begitu juga dengannya! Memang hanya 3 tahun, namun bagiku waktu itu begitu berarti dan membekas, mas! dan aku menyesal dulu tak pernah membuatnya bahagia! aku....."

Mulutnya tertahan. Pria itu mendekapnya erat. Kini bajunya telah basah oleh air mata gadis di sebelahnya. Air mata pria itu, pun, tumpah.

"Aku paham, dek. Tapi kita tak boleh larut dalam kesedihan, karena hanya akan membuatnya tak nyaman. Bukankah kita ingin yang terbaik untuknya?! Maka diamlah! doakan dia!"

Katanya tertahan di tenggorokannya.

Gadis itu dia dekap, membiarkannya menumpahkan ait matanya di pundak pria itu.

"Dia orang baik, mas... Aku merindukannya.."

Tak ada jawaban, telepon pria itu bergetar; sebuah panggilan.

"Kau sudah bersama adik?"

"Sudah. Bagaimana keadaan disana, buk?"

Pria itu menilik arlojinya, pukul 12 siang.

"Jenazah dimakamkan setelah sholat jum'at, menunggu Pakdhe Mus datang. Doakan ya..."

"Mungkin kami akan terlambat, buk."

Raungan mesin bis berpacu dengan kendaraan lain. Sementara di dalam bis, pria itu tetap pada bayangan-bayangan masa lalunya. Ia ingin menangis, namun air matanya kering. Ia ingin berteriak, namun tenggorokannya parau. Ia ingin berontak, namun dekapan gadis disebelahnya membuatnya harus menjadi karang yang kuat dan tegar.



*teruntuk Almarhumah Simbah Ma'munatun Cholil, simbahku tercinta. Engkau tak ayal seperti angin malam yang menenangkan kami, menidurkan kami, mengantarkan kami pada terangnya esok oleh mentari. Semoga engkau tersenyum disana, layaknya engkau tersenyum kepada kami saat berkisah pada kami. Dan semoga engkau disayangi oleh-Nya, sebagaimana engkau sangat menyayangi kami tanpa pamrih, tanpa beda, dan tanpa lilin. Kami mencintaimu, mbah rayi .......



Foto terakhir bersama Simbah, Syawal 1435H


ditulis di PP Sidogiri Pasuruan pada 24 Januari 2015 dan selesai pada 8 Februari 2015

Komentar

Postingan Populer