Dingin

Hari adalah makhluk yang tak pernah punya rasa bosan dan iri dengan makhluk lainnya, tak pernah terlambat, tetap bergerak tak peduli dengan apapun. Selalu genap 24 jam, tidak kurang tidak lebih. Begitulah hakikatnya. Namun hari seakan terasa berbeda ketika hati manusia sedang terbolak-balik. Cepat, saat batin menyandang perasaan bahagia, dan sebaliknya, lamban, saat susah mendarat. Selasa kemaren adalah hari terpanjangku. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul begitu saja, membebani pikiran, dan sangat mengganggu.

Bahkan pagi hari, saat janji-janji baru dibuat, saat kelelahan hilang digantikan oleh semangat baru, dan saat gelapnya malam diganti oleh terangnya siang oleh matahari, ada saja hal yang sangat mengganggu pikiranku. Di pagi itu aku sudah menyumpahi diriku sendiri. Sapaan teman-teman seperti biasa setiap pagi sebelum memulai kegiatan madrasah, tradisi orang jawa, agar tali silaturahmi tak terputus, di pagi itu, telingaku memilih menjadi tuli. Tidak, lebih tepatnya hatiku yang enggan, lalu telingaku patuh. Tatapan datar, dan dingin mungkin yang ditampilkan oleh wajahku yang tak hitam dan tak juga putih; coklat. Tak tampan, menambah kesan dingin yang mengeras. Hari itu semua orang tampak jahat bagiku. Jangankan menggoda, menyentuh pun akan dapat balasan yang tak baik dariku.

Ada sesuatu yang sudah aku perbuat, dan harus aku selesaikan. Di usiaku yang masih terbilang remaja ini, sudah banyak hal-hal yang telah aku mulai, aku kerjakan. Namun mana yang dimaksud oleh hati ini? Aku tak mengerti. Diam dan tidur menjadi pilihan paling bijaksana ketika psikis sedang tak menentu seperti ini. Sampai matahari tengah bersiap digantikan,

Saat itu aku tengah bersiap, menunggu rutinitas, di depan sebuah ruang di lantai 3. Bangunan itu menghadap ke barat, agak miring ke barat laut. Tempat yang cukup tingi. Berdiri mematung, menghadap ke depan, dan tak habis-habisnya berdecak kagum. Sederetan Pegunungan Arjuna nampak jelas tanpa penghalang, dibaluti oleh gumpalan-gumpalan awan putih besar sekaligus menjadi syal baginya. Llalu di sebelah selatan, rentetan Pegunungan Bromo tak mau kalah menunjukan keperkasaannya. Mereka nampak gagah, namun dingin menenangkan. Bagaimana mungkin aku tak sadar selama ini dengan keindahan seperti ini yang sangat mudah aku dapati? Aku terdiam. Andai saat itu tak banyak orang berlalu-lalang, mungkin aku akan menangis. Bukan sedih, namun juga bukan sebuah ekspresi kebahagiaan. Entahlah, aku hanya ingin menagis. Berharap ada sedikit beban yang dibawa keluar oleh air mataku.

20 menit aku tenggelam, larut dalam lamunan-lamunan yang membebani, tersentak oleh suara bel tanda habis waktu lamunanku. Ah, entahlah. Tuhan pasti punya sebuah rencana hebat untukku. Aku yakin itu, karena walaupun aku seperti ini, banyak hal besar yang Tuhan rangkai bersamaan dengan suara tangis pertamaku dulu. Semoga aku benar.

Daerah L Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan
11 Desember 2014

Komentar

Postingan Populer