Hai Angin...

Ali membenarkan letak sarungnya yang sedikit naik. Malang memang dingin, apalagi di bulan September. Anginnya begitu menusuk. Abu rokoknya bertebaran dimana-mana. Asbak sepertinya sudah berubah makna. Tapi tidak masalah. Abu rokok juga organik, tidak jadi polusi bagi tanah.

Handphonenya bercahaya, dahi Ali mengkerut. Mati-matian dia berusaha memahami makna kata dari "kitab elektrik"nya. Dia dihadapkan sebuah masalah tentang sebuah pernikahan saudara jauh. Boleh atau tidak? Lalu bagaimana hukumnya? Dan dasarnya apa? Ali sudah tau jawabannya; boleh asalkan tidak rodlo' (saudara satu susu). Tapi rupanya bukan itu masalahnya. Ali menggaruk dahinya. Dia kesulitan membaca bacaan kitab yang tidak ada harokat (baca: tanda baca). Paham dia dengan maksud dari kitab itu, namun dia kesulitan membacanya. Aneh.

Pisau jika lama tak diasah, maka tak lagi tajam. Sial. Benar memang. Ali menatap lampu rumah depan kontrakannya yang sudah bisa dikalkulasi berapa sisa umurnya. Namun tetap hidup. Mirip. Ali coba menelusur kembali ingatannya tentang membaca kitab. Tapi buntu. Ingatannya tertimbun dalam. "Apakah ini tanda ilmu yang tidak bermanfaat?" tanyanya kepada dirinya sendiri. "Mungkin. Ilmu bermanfaat jika kita berusaha membuat itu bermanfaat. Jika tidak, maka sama dengan munafik." jawabnya kepada dirinya sendiri. Ali mengatur nafasnya. Mencoba mencumbu angin dingin yang bertiup mengeluarkan suara damai, berharap menemukan kedamaian darinya. Tuhan memperingatkan Ali melalui angin. Memang sudah lama Ali tak berlatih membaca, menentukan apa i'rob (harokat akhir) kalimat (bahasa Arab: kata), lalu memaknainya. 4 bulan yang lalu, ketika Ali masih belajar di Pesantren di timur, Ali lulus ujian membaca kitab. Peringkatnya mumtaz (baca; sempurna). Tetapi sekarang hanya tinggal ijazah saja.

Rokoknya sudah habis. Teh gula jawanya juga tinggal ampasnya. Angin kini jadi fatamorgana, terlihat namun fana. Entahlah. Mungkin hanya masalah waktu.

Komentar

Postingan Populer