Merbabu, tetap.

Gunung Merbabu. Berketinggian 3142 mdpl, salah satu gunung indah di Jawa Tengah. Bukan gunung aktif, ramah, dan penyuguh view indah, menjadi alasan banyak orang ingin memeluknya. Ada 4 jalur menuju puncak gunung ini, Puncak Kentengsongo, Jalur Wekas, Suwanting dan Cunthel di Ngablak, Magelang, lalu Jalur Selo di Selo, Boyolali.

Minggu, 3 Januari 2016, saat cuaca agak mendung di Magelang, aku dan saudaraku, Firdaus, kesana kemari mencari pinjaman peralatan untuk mendaki. Lalu sore hari berangkat dari rumahku menuju Basecamp Garbupal di Wekas untuk berjalan menuju Puncak Merbabu, lagi. Ini perjalanan ketiga bagiku. 2 sebelumnya, tak pernah sampai puncak. Karena aku tak diizinkan untuk sombong.

Pukul 17.00 WIB kami sampai di basecamp. Agak terlambat karena kami harus kembali ke jalan besar, handphone Firdaus nampaknya jatuh di perjalanan, namun tidak ketemu. Setelah semua siap, packing lagi, pemanasan, berdoa, tepat pukul 18.00 kami start berjalan kaki menyusuri jalan berbatu di sekitar rumah penduduk. Terjal dan rata, membuat awal pendakian melalui wekas cukup membuat tubuh menjadi hangat.

Memasuki lahan penduduk, medan berganti menjadi tanah berundak. Di sebelah kiri kita akan bertemu bangunan makam. Aku lupa siapa nama tokoh yang dimakamkan disitu.
Jalurnya lumayan sepi. Tidak seperti 2 perjalanan terakhirku melalui jalur ini. Ramai dan sangat berdebu karena musim kemarau. Kali ini lebih dingin dan padat. Langkah menjadi lebih mudah namun tetap waspada terpeleset karena licin.

Kami berjalan lambat, cukup lama. Aku tak ingat pukul berapa sampai di pos 1. Istirahat, lalu mengambil air di sumber air dari pipa yang dialirkan oleh para warga. Sebelumnya, hanya di pos 2 saja ada sumber air. Wajar saja karena jalur ini merupakan jalur favorit para pendaki karena lebih cepat. Dan hanya dari jalur ini pendaki dapat menemukan sumber air. Sedangkan jalur lain, tidak.

Lanjut berjalan, kakiku mulai terasa tak karuan. Seperti tidak ada namun masih dapat kulihat. Kami berhenti sejenak untuk memulihkan kakiku, lalu jalan lagi. Mungkin karena efek menginjak pedal gas yang cukup lama -Magelang ke Cirebon, lalu Jakarta, Demak, Kudus, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik, Jember, Jombang, Sragen, dan kembali lagi ke Magelang; total 10 hari, aku tidak kuat berjalan lebih jauh lagi. Paha bagian bawahku sangat nyeri. Kami berhenti. Memutuskan untuk mengurut kakiku dengan balsem. Lalu menempatkan kakiku lebih tinggi dibanding kepalaku untuk pemulihan. Saat itu aku sempat merasa putus asa, tidak yakin apakah mampu melanjutkan bahkan sampai pos 2 sekalipun. Tapi setelah sekitar 30 menit, kakiku sungguh pulih total.

Sekitar pukul 23.00 WIB kami sampai di pos 2 yang berupa lahan luas; cukup untuk mendirikan 100 tenda sekalipun. Termasuk sepi. Hanya ada 2 tenda kapasitas 2 orang dan 1 tenda kapasitas 4 orang. Aku ingat, 16 agustus lalu tempat ini seperti pasar. Bahkan ada penjual gorengan. Kami melewati semacam bekas gubuk sederhana, mungkin bekas penjual gorengan saat tahun baru kemarin". Batinku.

Kami memilih tempat kosong di samping tenda kuning kapasitas 2 orang milik pendaki lain yang tampaknya sudah dari tadi sampai di situ. Bertata sebentar, sholat, makan, lalu sekitar pukul 24.30 WIB, tenda sudah rapi, termasuk kami. Terlelap.

Pukul 04.00 WIB Allah membangunkanku dari mati, melalui alarm. Aku keluar tenda untuk melihat keadaan. Berkabut. Penghuni tenda sebelah ternyata sudah packing, siap untuk summit attack. Mereka membuat perapian di depan tenda. Aku merapat, lalu berbasa-basi. Mereka juga berdua, dari Jogja dan Kalimantan.

Sholat Subuh


Salah satu sisi baik mendaki di musim hujan adalah suhunya tak sedingin saat musim kemarau. Terasa sekali saat aku mengambil air wudlu; tidak sedingin agustus lalu. Oh ya, tujuanku mendaki adalah untuk bersyukur pada Allah. Maka, sholat adalah prioritas bagaimana pun keadaannya. Jika tidak kuat menanggung dingin air, ya tayammum. Mudah. Siapa bilang Islam itu ruwet. Manusianya saja yang meruwet-ruwetkan agama.

Kami tak bisa berjamaah. Keterbatasan pakaian suci dan matras untuk alas. Bergantian.

Pukul 07.00 WIB kami sudah rapi. Siap untuk summit attack. Beberapa barang kami tinggalkan di tenda. Hanya matras, ponco, nesting, kompor, air 2 botol, snack, kamera, fly sheet, jaket, dan pisau saja yang masuk dalam carrier.

Siap tempur


Pos 3


Sebelum Jembatan Setan


Suasana berkabut. Berharap nanti akan hilang terbakar sinar matahari yang tak kunjung muncul. Namun walau sudah berjalan 2,5 jam, kabut tak juga hilang. Setelah habis jembatan setan yang diluar ekspektasi; lebih mudah, kami berpapasan dengan tetangga kami di pos 2. Mereka sudah sampai puncak. "Tidak usah naik, mas. Percuma, nanti kecewa. Di atas kabut." kata seorang yang dari Jogja dengan logat jawa khas jogja.

Kopi


Kami duduk. Firdaus tak ingin melanjutkan perjalanan. "Pertama kali sampai sini saja, lah. Sudah lumayan." katanya. Oke.

Dilema. Ini yang ketiga, apakah hanya sampai sini saja? Aku masih kuat. "Kau yakin tak ingin lanjut jalan? Mungkin tinggal 30 menit lagi sampai puncak." aku merayu. "Tidak. Sama saja, diatas juga nggak lihat apa-apa. Kabut. Kalau kamu mau lanjut, aku akan menunggumu disini."

Oke. "Kau yakin tak apa disini sendirian?" aku memastikan dia tidak terpaksa dalam perkataannya barusan. "Santai saja. Aku baik."

Oke. Aku lanjut, sendirian. Air satu botol kecil, pisau, dan handphone masuk di tas kecil. Dan, gas!

Summit Attack


Dari sini aku baru paham istilah "Puncak Bayangan" dan "Puncak Sejati" dalam artikel catatan pendakian di internet. Sempat terkecoh saat terlihat puncak, yang setelah trekking, bahkan climbing, ternyata masih belum puncak. Banyak persimpangan di jalur ini. Yang, namun, berujung di jalur yang sama. Tidak ada jalur yang lebih landai atau menanjak. Sama saja. Ada 3, kalau tidak salah, puncak sebelum puncak.

Dan Puncak Kenteng Songo!
Puncak Kenteng Songo

Tidak sia-sia aku berjalan hanya bertemankan kabut, diramaikan suara langkah kaki, dan dilema oleh perasaan was-was. Setelah 3x, akhirnya aroma dari Puncak Kenteng Songo yang katanya harum itu, bisa kuhirup sendiri.

Merbabu, 4 Januari 2016
Robith Muhammad

Komentar

Postingan Populer