Burung Sriti

Di tempat yang sama, bangunan berlantai 3 dan memiliki 9 ruangan yang semuanya menghadap barat, pria itu berdiri mematung menghadap barat laut. Tangannya menggenggam sebuah kitab yang kertasnya berwarna kuning, lecek karena sering dibolak-balik oleh tuannya. Badannya tak terlalu tinggi, ideal dengan usianya yang baru memasuki masa-masa kedewasaan. Tak pula gagah berotot, nampak biasa dan tak mencolok jika dibaurkan dengan pria lainnya. Berbalut baju berlengan panjang, putih tanpa motif, hanya ada lencana berbentuk segitiga di dada sebelah kirinya, lalu rambutnya cepak, hanya sekitar 2-3 cm, tak lebih. Tertutup rapi oleh penutup kepala berbahan katun halus berwarna putih; santri. Tatapannya tegas tanpa tanda tanya. kantung hitam di bawah matanya menambah kesan dingin dan bijaksana. Gerakannya lembut namun pasti, bak angin yang saat itu sedang jahil menyapanya di tempat itu.

Pria itu mengusap butiran-butiran air bening yang mulai nampak di dahinya yang berkilau. Sinar matahari membuatnya berkeringat, namun pria itu memilih untuk tidak merasakannya. Seseorang menyentuh bahunya, mengisyaratkan untuk segara beranjak, pria itu hanya mengangguk sembari tersenyum. Dia masih enggan beranjak dari tempat itu. Lantai 3, tempat paling tinggi di bangunan itu. Dan di waktu yang selalu sama; sore, pria itu tak pernah bosan dengan rutinitasnya berdiri mematung mengahadap barat laut. Hingga beberapa kawannya hafal betul dengan kebiasaan pria itu. Mereka tak paham dengan apa yang dilakukan pria itu, atau lebih tepatnya apa yang sedang dinikmati olehnya.

Pria itu memilih mengembalikan fokusnya pada apa yang sembari tadi dia nikmati; Panorama Gunung Arjuna yang tepat berada di sebelah barat laut. Sore itu sangat cerah, pantas pria itu enggan beranjak. Langit begitu biru tanpa awan putih bahkan hitam, bersih. Tampak titik-titik hitam menari-nari di kejauhan, tampaknya sekumpulan burung sriti dengan perut mereka yang kempis dan paruh mereka yang terbuka-tertutup, lapar. Bulatan hitam pada mata pria itu liar menelusur segala penjuru, mengikuti tarian burung-burung sriti yang terbang teratur. Ke kanan, ke kiri, lalu terkadang terjun bersama ke bawah. Begitu merdeka burung itu, menimbulkan iri pada hati pria itu.

Lebih jauh lagi, nampak lebih jelas serta memang itu yang dicari pria itu, Gunung Arjuna. Tak tampak seperti gunung sebenarnya, lebih mirip pegunungan yang punya sekitar 5 puncak. Asap putih mengepul jarang-jarang dari puncak tertinggi yang berada paling selatan.

Pria itu menarik nafas panjang. Menyimpulkan sendiri apa yang dia saksikan, hanya Tuhan yang mampu menciptakan ketenangan seperti saat ini. Dan Tuhan juga yang menentukan siapa hambanya yang sadar akan ketenangan dan keindahan itu. Terbukti, hanya pria itu saja yang selama ini takjub, takzim, serta takluk oleh keindahan itu. Bahkan 600 orang disini, namun tak satupun yang sadar, terkecuali pria itu. Nafasnya tertahan, memang dia tahan. Jarang dia merasakan udara sesejuk sore ini. Dan pria itu tak mau melewatkan kesempatan semacam ini. Cukup sederhana, namun jarang dimengerti manusia.

Pria itu masih menunggu sesuatu yang masih belum nampak. Masih 20 menit lagi. Kembali dia gerakkan tangannya, mengusap butiran-butiran sebesar kacang hijau yang tak hentinya muncul di dahinya yang berkilau oleh cahaya matahari. Pria itu masih sabar menunggu momen itu. Dalam sore seperti sekarang, tak mungkin momen itu tak nampak. Protesnya dalam hati. Kembali seseorang menepuk bahu pria itu. Kali ini disertai sebuah pertanyaan, akan sampai kapan pria itu akan diam mematung di tempat itu, jawabannya hanya diwakili oleh senyum keterpaksaannya. Seseorang itu paham apa maksud pria itu. Lalu beranjak meninggalkan pria itu.

Robith Alkholily
Sidogiri, Maret 2015

Komentar

Postingan Populer