Telepon

Malam ini adalah waktu pertama dimana aku mendengarmu bicara dari jauh meskipun kau hanya bicara setelahku. Suaramu menghantarkan stimulus yang menyebabkan hormon-hormon serotonin melaju dengan cepat disalurkan oleh neurotransmiter pada seluruh bagian dalam otakku. Bergemerlap seperti kilat yang pulang dari gumpalan awan menuju bumi; silau dan membutakan, membuat matamu tak bisa melihat warna selain putih. 

Bintang tertutup mendung dan gerimis saat kumendengarmu bicara dengan nada sedikit ditekan; aku tahu ada yang kau tahan sehingga kau tak banyak bicara. Mungkin kau ingin bercerita bahwa pen yang kau beli sore tadi ternyata sudah rusak. Atau berkeluh tentang kantung matamu yang enggan mengempis. Selalu ada yang tak tersampaikan saat kita bicara, aku tahu dan aku pun begitu. 

Tertahan oleh entah disebut malu, takut, segan, atau apalah itu sehingga keinginan kita untuk bicara banyak tak tersampaikan. Aku tak ingin mengakhiri pembicaraan itu meskipun gerimis jadi hujan dan mendung mengundang kabut dingin. Sedikitpun tak kurasa ada tetes-tetes air yang jatuh pada kulitku yang agak gelap. Dan dingin yang terbawa angin hanya lewat menyapa saja namun tak kudengar sapanya.

Jangan berhenti bicara. Kuharap. Tapi aku tak bisa bicara lagi. Mulutku ingin mendengar suaramu juga. Mataku tak bisa melihat warna lain selain putih bayangmu. Dan aku ingin malam tahu diri dan memahami dengan melihat senyumku yang tak surut bahkan sampai dia sekarat digantikan pagi. Setelah kau diam, pun, suaramu masih menggema di lorong-lorong dalam pada hatiku.

*setelah kau menjawab panggilanku, lalu kita bicara

Alkholily
PP Nuha, 13 maret 2018

Komentar

Postingan Populer