Tenggelam
Disaat volume air sungai meluap dan menghanyutkanku, kuraih udara di atas agar aku dapat naik. Namun dia malah tertutup hujan. Udara terlalu tipis, dapat kuraih namun tak dapat kugenggam.
Aku susah payah berenang menuju tepi. Beruntung aku hanya sekarat kelelahan menelan banyak arus yang menarik dari bawah dan mendorong dari atas sekaligus.
Kulihat tanah di tepian. Tapi rupanya ia memihak pada air. Licin dan tak bisa sedikitpun kuraih. Aku kembali terperosok ke dalam arus. Disaat sekarat seperti itu, Tuhan pasti sedang tertawa.
Udara yang tipis masih kuraih sebisa tanganku meraba. Pandanganku memburam dan kurasa jari kakiku hilang satu persatu. Kepalaku masih didekap udara. Aku akan mati, tapi tidak sekarang.
Ada kayu besar mengambang tenang dan dekat denganku. Aku naik dengan semua tenaga yang masih kupunya. Kurebahkan tubuhku diatasnya lalu kumuntahkan peluhku.
Dengan mataku yang merah, aku melihatmu tersenyum dari jauh. Tidak. Kau di sebelahku. Membelai tanganku dengan lembut. Tapi kemudian kau dorong aku yang lemah ini kembali ke dalam air yang sedang menggila. Dan kau tersenyum.
Mataku tetap merah dan tak percaya. Kau dan sebongkah kayu tadi merupakan harapan terakhirku. Dan lenyap dalam sekejap.
Kakiku dan tanganku terasa hilang. Aku yakin saat ini air sedang berpesta berebut tempat di dadaku yang kosong. Mataku yang merah kupejamkan. Kubayangkan tempat indah berisikan orang yang kusayangi. Gemuruh arus air berganti menjadi semilir suara daun oleh angin.
Kau datang menggenggam tanganku.
Dan aku tetap akan mati, namun tidak sekarang.
Alkholily
Ruang B112, 29 maret 2018
Komentar
Posting Komentar