Telepon (2)
Aku punya hutang cerita yang harus kusampaikan padamu. Dan keadaan ini sangat menguntungkan diriku yang memang sukanya mencari untung. Kalau tidak, mungkin kamu tidak mau bicara di telepon. Maaf aku memanfaatkan keadaan ini. Kupikir tindakan ini bisa jadi stimulus baik untuk memperbaiki komunikasi kita, tentunya agar hubungan kita kedepan semakin membaik. Aku yakin kamu paham dan aku yakin kamu juga berfikir demikian.
Kalau beberapa orang bilang rindu itu menyiksa dan harus segera diobati dengan bertemu, misal, maka aku tidak sepenuhnya setuju. Rindu adalah salah satu elemen yang harus selalu ada dalam setiap drama percintaan. Ia jadi bukti kalau cinta masih ada dan terpelihara dengan baik. Obat rindu adalah bertemu juga kurang pas, menurutku. Bukankah setelah kita bertemu, rindu akan semakin membuncah? Jadi bertemu bukan untuk mengobati rindu, malah akan jadi pupuk bagi rindu itu sendiri. Rindu tidak butuh diobati. Maka yang jadi pertanyaanku adalah, kenapa rindu malah dirasa sebagai sesuatu yang menyiksa? Aku setuju, saat sedang merindu, adrenalin kita meningkat dan dada kita sesak. Pikiran kita hanya terfokus pada apa yang kita rindukan saja. Namun sekali lagi, apa itu semua adalah wujud siksaan? Kurasa tidak. Rindu lahir dari cinta, dan cinta adalah sebuah nikmat. Maka tidak logis jika rindu adalah siksa. Coba kita lihat kembali kaca mata kita. Siapa tau ada debu tebal yang menghalangi sudut pandang kita.
Oke. Itu tadi adalah ekspresi kerinduanku yang baru saja kau pupuk melalui percakapan kita di telepon.
Oke. Itu tadi adalah ekspresi kerinduanku yang baru saja kau pupuk melalui percakapan kita di telepon.
Satu setengah jam berbicara denganmu lewat telepon. Sesuai perkiraanku sebelum menelponmu. Meskipun sebelumnya kamu takut dan enggan untuk bicara di telepon, aku punya keyakinan kalau pada akhirnya pembicaraan kita akan mengalir seperti pertemuan-pertemuan kita sebelumnya; awalnya seperti tidak ingin bertemu karena malu, akhirnya mengalir begitu lama dan sama-sama tak ingin berlalu.
Aku tidak peduli dengan apa yang kita bicarakan di telepon tadi meski memang itu penting. Kau benar, sebenarnya hal itu bisa kuceritakan melalui pesan. Tapi pembicaraan itu sndiri yang jadi begitu penting bagiku. Pembicaraannya. Bukan isinya. Karena dengan berbincang, kita bisa saling tau bagaimana ekspresi masing-masing melalui penekanan kata, nada bicara, jeda, dan suara kita saling bersautan. Hal yang sangat jarang kita lakukan bersama dalam hubungan kita selama kurang lebih 9 tahun ini. Tapi aku sama sekali tidak menyesali itu. Sungguh. Justru aku bersyukur karena kita berbeda. Walaupun kata orang-orang alasan kita tidak berbincang agar tidak terlalu menimbun dosa itu naif, menurutku --kurasa kau juga setuju-- tidak. Dan hal ini jadi salah satu alasan yang kuat, bagiku, untuk tetap bertahan denganmu selama ini.
Apapun alasan kita sekarang, yang akhirnya mendorong kita untuk saling berbincang di telepon tadi, menjadi tidak penting lagi jika bicara aturan yang berlaku. Secara normatif, apa yang kita lakukan tidak bisa dibenarkan. Mau alasannya demi kemaslahatan hubungan yang udah serius, agar komunikasi menuju pernikahan jadi lancar, menurutku tetap salah secara normatif. Tapi sulit sekali menerimanya, bukan?
Jujur saja, aku masih terus mencari-cari dalih yang tepat, yang bisa kugunakan sebagai argumen untuk membenarkan apa yang kita lakukan. Tapi buntu. Kurasa hal semacam ini bukan untuk diperdebatkan hukumnya bagaimana. Orang gila dan mabuk, seperti yang pernah kubilang, kebal hukum. Percuma. Yang aku tau sekarang aku bahagia setelah berbincang denganmu.
Yang perlu kita lakukan bersama, salah satunya adalah selalu memohonkan ampun bagi hubungan kita. Kurasa itu solusinya, setidaknya untuk sementara waktu. Hingga nanti, saat berbincang denganmu tidak lagi dilarang, namun malah dianjurkan. Semoga.
Yang perlu kita lakukan bersama, salah satunya adalah selalu memohonkan ampun bagi hubungan kita. Kurasa itu solusinya, setidaknya untuk sementara waktu. Hingga nanti, saat berbincang denganmu tidak lagi dilarang, namun malah dianjurkan. Semoga.
Terima kasih. Sejak pertama mengenalmu, hingga sekarang, apa yang kita lakukan bersama selalu terasa begitu berbeda. Perkembangan hubungan kita tergolong lambat jika dibandingkan cerita asmara teman-teman kita yang lain. Kalau sudah jadi pacar, ya wajarnya sering bertemu. Kalau susah bertemu karena jarak, ya bertukar kabar lewat telepon setiap malam hingga tertidur. Kemudian menjadwalkan bertemu setiap liburan kampus atau sewaktu libur lebaran. Jalan-jalan memutari kota, ke pantai, dari pagi hingga malam, bercerita banyak hal, membicarakan perasaan masing-masing, lalu merencanakan pernikahan di hari esok. Entah esok itu kapan. Itu mereka pada umumnya.
Kita, dengan tegas dan bangga, memilih untuk tidak seperti itu sejak 2011 awal dulu hingga saat tulisan ini dibuat, 2019. Satu-satunya model komunikasi yang kita gunakan selama ini hanya melalui pesan saja. Walaupun nyatanya tidak selalu berjalan mulus, malah cenderung kurang baik, tapi perasaan kita tetap bertahan. Memang, tidak ada yang benar-benar mulus dalam hidup, begitu juga dengan hubungan, harus bertahan dari angin besar, berkali-kali roboh, segala puji bagi Dzat Yang Membolak-balikkan hati, kita masih mau saling memperbaiki dan bangkit, bersama-sama. Kalau bukan karena cinta, secara logis, aku tidak bisa menjelaskan mengapa bisa demikian. Tapi untuk apa juga dipermasalahkan?
Aku hanya ingin bilang, hingga detik ini, aku sangat bersyukur dapat mencintai dan dicintai olehmu.
Malang, 14 September 2019
*setelah berbincang denganmu di telepon.
Komentar
Posting Komentar