Haru Merbabu; Gunung Merbabu via Selo



Gunung Merbabu, kalau diibaratkan artis, macam Raisa, yang tetap cantik dilihat dari manapun. Barat, lah. Timur, lah. Utara, lah. Dari atas atau bawah ya sama, indahnya tak ter-elak-kan. Bedanya, kalau Raisa milik Hamish seorang, sedangkan Merbabu milik kita bersama. Kita bisa bebas berkenalan bahkan bercumbu dengannya, asalkan beradab dan tidak ngawur -kalau orang Jawa bilang; sak karepe dewe. Ada proses yang harus dilalui sebelum, saat, dan sesudah mendakinya.

Salah satu yang penting sebelum bercumbu, yaitu mengetahui jalur pendakian mana yang akan kita pilih untuk dilalui. Nah, Gunung Merbabu punya 5 jalur pendakian -sepengetahuanku. Jalur yang paling cepat, via Wekas, Magelang. Di jalur ini sumber air melimpah. Aku sudah tiga kali lewat jalur ini. Aksesnya menuju basecamp mudah, sampai puncak juga cepat. Ada lagi jalur Cunthel serta Suwanting, yang tergolong jarang dipilih para pendaki karena treknya sulit, serta tidak adanya sumber air saat kemarau. Dua jalur ini juga berada di Magelang. Lalu di lereng wilayah Salatiga, ada Jalur Thekelan. Dan jalur yang paling populer diantara 4 jalur yang lain adalah Jalur Selo, Kabupaten Boyolali.

Rindu Merbabu. Ah. Pas sekali dua kata itu disandingkan. 

Di bulan November seperti ini curah hujan sedang tinggi. Gunung-gunung sepi karena trek menjadi licin, belum lagi kalau bertemu badai. Kebanyakan orang jadi malas untuk naik. Pas! Gunung sepi dan suhu tidak terlalu dingin. 

Awalnya aku ajak beberapa teman pondokku untuk bergabung denganku ke gunung Lawu via Candi Cetho. 4 orang kudapat. Naufal, Fuady, Mas Arvan, dan Najib. Kami sepakat akan berangkat ke Karanganyar tanggal 2 November, tepatnya hari kamis malam. Namun setelah kukabari adekku yang kuliah di Solo, dia memintaku untuk mengundurkan tanggal karena saking kepinginnya naik gunung. 

Oke. Kuturuti permintaannya. Aku mundur dari rencanaku ke Lawu. 

________

Jum'at, 10 November 2017
Kota Malang

Saat matahari masih samar-samar tertutupi mendung pagi, sekitar pukul 6 pagi, aku bergegas beranjak dari pondok menuju kontrakan teman-temanku di daerah Suhat. Packing disana. Tenda isi 4, 2 matras, nesting plus kompor, SB, jaket, pakaian ganti, senter, beberapa logistik dan yang lainnya asal tertata di carrier. Pukul 9 WIB aku berangkat dari terminal Arjosari, Malang, menuju ke Surabaya. 

Oh ya. Jadi ketika tanggal pendakian sudah pasti, aku meminta adekku untuk mengajak kawannya. Entah siapa saja asalkan sanggup, supaya nanti tidak hanya berdua saja. Didapatnya 4 orang. 2 cowok; Izul dan Fatih, dan 2 cewek; Uhti dan Isna. Mereka adalah teman satu komunitas di Komunitas Kentingan.

_____________


19.30 WIB
Surakarta

Aku terbangun dari tidur. Kutoleh kanan kiri. Ini dimana. Kudekati kondektur bis. 

'Kebablasen, mas.'

'nggeh, pun, pak. Mudun kene wae wis."

Akhirnya aku turun. Kuambil carrier di bagasi mobil. Sial, tasnya basah. Ini dimana?

Bingung. Aku berada di perempatan besar. Ada pom bensin di sebelah kanan aku berdiri. SPBU Manahan. Oke, berarti aku berada di Manahan.

'Halo! Mas pun mandap! Tapi mboten ngertos niki teng pundi.'

'Lah. Pripun, sih?!' kata adekku di telepon.

'Pokok mas teng ngajeng Pom Bensin Manahan. Mas kudu pripun niki?' kugaruk kepalaku meski tidak gatal.

Dia matikan telepon. Menginstruksikan untuk menunggu sejenak. Biarkan dia dan teman-temannya berbicara bagaimana baiknya.

'Halo! Mas, pun, sakniki mas milih. Dijemput sakniki, mbalik teng UNS, terus nunggu packing. Utowo mas nunggu teng mriku, terus mangkeh dijemput sekalian berangkat teng basecamp.'

'Mmm... Searah, nggeh?'

'Enggeh mas. Terserah, pun'

Kenapa tidak packing sejak tadi siang, sih.

'Oke. Mas nunggu teng mriki. Enten cafe, kok. Pokok cepetan.'

____________


Kurang lebih 2,5 jam aku menunggu di cafe yang ada di pom bensin itu. Membersihkan carrier yang basah dan kotor debu, sholat, menambah stok lintingan, ganti baju, dan satu cangkir kopi americano sudah kuhabiskan. Mereka belum juga sampai. 

Pukul 22.00 WIB baru mereka sampai. Kulirik carrier mereka. Wah, pasti masih ada yang kurang...
'Nanti kita mampir untuk beli gas dan ambil gelas dulu, mas.'

Tuh, kan, benar.

3 sepeda motor. Aku dengan adikku, Uhti dengan Isna, dan Izul dengan Fatih di depan memandu jalan karena Izul pernah naik via Selo. Jarak dari Surakarta menuju Basecamp Merbabu Selo kurang lebih 50 KM kalau dilihat di GPS. Kami menempuhnya dengan waktu sekitar 2 jam. Cukup lama karena kami beristirahat di Pasar Cepogo, Boyolali, untuk meneguk susu jahe di angkringan. Para wanita juga mengantuk. Jadi kami biarkan mereka tidur sejenak disitu.

___________


Sabtu, 11 November 2017
00.15 WIB

Sempat kami bingung dimana belokan menuju basecamp. Izul lupa. Setelah bertanya di kantor polisi setempat, dan di warga sekitar yang kebetulan belum tidur, akhirnya kami sampai di Basecamp Pendakian Mbah Jupri, Selo. Hawanya tak terlalu dingin karena mendung menyelimuti langit. Basecamp juga longgar sekali. Tidak ada kelompok lain selain kami saat itu. Sepeda kami tata di parkiran, lalu kami tidur. Besok kami harus mulai berjalan sepagi mungkin. Menghindari hujan.

_____________


Alarm subuh membangunkan kami. Dingin sekali. Setelah sholat subuh berjamaah, kami packing ulang. Membagi beban serta mengisi persediaan air. Jalur Selo adalah jalur tanpa sumber air. Ada 13 botol besar air mineral yang kami bawa, 2 tenda kapasitas 3 org, satu set kompor dan nesting, serta tetek bengek yang lain sudah tertata di masing-masing carrier.

sekitaran basecamp

View sekitar basecamp indah sekali. Ladang wortel, sawi, dan kentang milik warga, khas pegunungan. Segaris dengan jalan ke bawah, Gunung Merapi gagah sekali dengan puncaknya yang abu-abu. Bahkan aku mengabadikan timelaps momen sunrise di depan basecamp. Tak perlu sampai ke puncak kalau hanya ingin mencari view bagus.


Merapi


Setelah makan soto dan nasi campur, kami bersiap untuk berangkat. Pakai sepatu, nyetel backsystem carrier, pakai masker dan tetek bengek lainnya, lalu kami pemanasan. Tubuh kami regangkan satu per satu mulai kepala, leher, lengan, pergelangan tangan, perut, pinggul, dan kaki. Setelah sedikit berkeringat, kami merapat membuat formasi melingkar, dan berdoa.

sarapan soto

Al Fatihah, tawashul kepada para guru, syahadat, istighfar, sholawat, dan beberapa doa khusus kami baca bersama. Demi keamanan, agar kami tetap fokus, tetap pada jalan kami, tetap pada niat awal kami; mendekat pada Sang Pencipta Alam. Toh, saat kami dapatkan view, dapatkan sehat, dan dapatkan teman dan pengalaman baru saat mendaki itu hanya bonus saja.




08.00 WIB

Kami berangkat!



Setelah basecamp, ada gapura besar penanda masuk wilayah Taman Nasional Gunung Merbabu, serta bangunan pos pendaftaran pendakian. Aku dan Izul masuk untuk mendaftar. Rp. 10.000/org.


Gapura TNGM 

Selesai, kami keluar pos. Yang lain foto-foto.



Trek awal setelah gapura berupa tanah datar dan cukup panjang. Tidak terlalu menanjak, hmm, malah cenderung landai yang mendominasi. Vegetasinya pohon-pohon besar yang dialasi oleh pepohonan perdu. Tidak seperti trek via Wekas yang di awal, kita akan melewati lahan penduduk sekitar.

Jalanan landai

Khas pendaki awal, para wanita berjalan cepat sekali dan enggan diajak istirahat. Baru setelah berjalan sekitar 30 menit, saat baju sudah mulai basah keringat dan nafas tersengal karena trek landai sudah mulai menanjak, kami break. Kami sering berhenti untuk membenarkan letak carrier yang dipakai para wanita. Isinya sering berpindah karena lengang dan tidak rapat saat packing. Setelan backsystemnya, pun, susah karena model lama. Aku dan Izul kepayahan. Tenda dan air ada pada kami.


teler...

Hampir 2 jam kami jalan, kami belum juga sampai di pos 1.
 
'Break!'

'Oke. Gak usah lunggung, diluk ae.'




Kepala kuangkat menghadap langit. Pegal. Lalu, wussshhh..... ada burung coklat besar melintas tanpa suara dan tanpa kepakan sayap terlihat di atas rimbun pepohonan.

'Elang!!!'

Aku berteriak kencang sambil kutunjuk pohon di atas Yasmin. Orang-orang menelusur ke atas. Mencari.

'Wih. Apik, yo, mas.' Izul menjawab setelah beberapa saat.

'Awakmu ketok?'

'Iyo, mas. Apik.'

'Ndi, siih? Kok aku nggak ketok?'

'Iyo, gak ketok. Kok sampean ngerti nek kui Elang?' Yang lain protes.

Aku masih tak percaya dengan apa yang kulihat tadi. 

'Ini sudah kedua kalinya aku melihat Elang di Merbabu. Dulu saat di Puncak Pemancar, burungnya persis seperti yang barusan. Tidak ada burung yang terbang seperti itu selain Elang. Tapi aku tidak tahu termasuk jenis apa yang barusan. Kata temanku yang seorang pengamat burung, kalau kita melihat Elang, berarti keberuntungan berpihak pada kita.' 

Tentu saja. Elang adalah satwa yang sudah tergolong langka dengan status; resiko rendah. Kalau di Jawa, habitatnya di hutan sekitar gunung-gunung. Siapa saja kalau bertemu satwa langka, tentu saja beruntung. Apalagi bertemunya tidak sengaja dan, satwanya burung. Akan beda lagi ceritanya kalau macan.

________________

10.00 WIB
Pos 1 Dok Malang 2189 mdpl


Papan penanda Pos 1

Tidak jauh setelah aku melihat burung -yang kuduga itu adalah Elang, kami akhirnya sampai pos 1. Kami berhenti, duduk selonjor, melepas tas, minum, dan sebat dulu.



Disitu kami bertemu dengan 2 kelompok pendaki lain dari Jawa Barat dan Aceh.

'Masnya anak Mapala, ya?'

Tanya seorang wanita dari kelompok pendaki Bandung kepadaku.

'Eh? Saya, mbak? Enggak, kok. Indie aja. He he. Kenapa, lho, mbak?'

'Wah. Gila, nih, masnya. Nanjak sambil ngerokok.' Katanya geli.

Aku hanya tertawa saja. Tidak ada yang istimewa. Toh, ini rokok herbal. Kalau sesak nafas, ya, tinggal dimatikan saja rokoknya.


Kami hanya berhenti sekitar 10 menit saja. Setelah itu kami lanjut.

30 menit selanjutnya, kami sampai di pos bayangan antara pos 1 dan pos 2 yang treknya cukup menanjak tanpa pijakan serta licin.



10.30 WIB
Pos Simpang Macan

Di waktu sebelumnya, kami ramai. Meski aku baru mengenal mereka kemarin, tapi kami langsung akrab dan hilang sungkan. Saling nggojlok sak penak wudele dewe. Begitulah manusia kalau tanpa hape. Mau tidak mau, kami harus saling terbuka dan saling menyapa berkenalan. Karena selama 2 hari kedepan, hidupku adalah hidup mereka, dan begitupun sebaliknya. Kami juga tak punya alasan untuk tidak saling berbicara. Mau ber-gadget? Ha ha ha. Tak ada sinyal, tak ada listrik, dan dikejar waktu. Selain untuk foto dan sesekali mendengarkan musik, hape jadi tak ada gunanya, dan kami menjadi manusia dengan berinteraksi dengan sesama manusia. Atas misi yang sama, kami menjadi sebuah keluarga. Saling melindungi, mendukung, memahami, menghangatkan, dan bekerja sama agar misi kami sama-sama tercapai.

Sampai di pos bayangan ini, suara sudah malas kami keluarkan. Sudah mulai lelah dan mending diam daripada kebanyakan bicara kemudian lelah.




Setelah berhenti sekitar 5 menit, kami lanjut.

Trek mulai lebih menunjukkan kegagahannya dengan menampakkan beberapa batu-batu besar di kanan-kiri jalur. Jalanan licin karena musim penghujan. Beruntung, sejak tadi malam sampai sekarang, langit tak begitu mendung. Jadi tidak panas, namun tidak dingin juga. Pas.


monyet

Satu jam setelah pos bayangan, vegetasi mulai terbuka, berganti dengan tanaman perdu. Kami melihat ada bangunan seperti gubuk kecil yang sedang dibangun kurang lebih 400 m di depan kami.
Izul bernafas lega,

'Nah. Pos 2.' 

________________________

11.30 WIB
Pos 2, 2414 mdpl

Pos 2 merupakan daerah lapang yang dipenuhi tanaman murbei. Ada gubuk untuk shelter yang sedang dibangun. Tak ada pohon besar.

Langsung saja, aku letakkan tas, lalu mencari murbei yang ada. Banyak sekali disini! Dan manis-manis!
Murbei

Sementara aku mencari murbei, para cewek membuka roti tawar dan susu. Sudah kelaparan sepertinya


Cukup lama kami disini. Bercanda habis-habisan, makan roti sampai habis, kemudian kami lanjut setelah mendapat penjelasan dari Izul kalau pos 3 hanya berjarak sekitar 30 menit dari sini, 'kae, mas. Ono wit. Nah, mburine kui wes pos 3.' Terang Izul sambil menunjuk sebuah pohon jauh di depan sana. 

Dan Yasmin berjuang belajar cara memakai carrier yang benar.









Sepanjang jalan, aku sering berhenti dan memetik banyak murbei yang sudah matang. Melimpah sekali disini! Kupetik banyak, terus yang lain minta. Ha ha ha dasar.


13.00 WIB
Pos 3


Setelah menanjaki trek cukup curam dan licin, kami sampai di pos 3. Pos ini lebih luas dibanding pos sebelumnya. Semacam cerukan diantara 3 atau 4 bukit dengan padang rumput. Dari situ, kami bisa melihat Gunung Merapi dengan jelas setelah menaiki salah satu bukitnya. Rumputnya cukup hijau dan tinggi. Kami sempatkan mengambil beberapa foto disini sampai pada akhirnya kabut datang membelai lembut mengingatkan padaku dan yang lain untuk meneruskan perjalanan. Hujan nampaknya akan datang.



Kurang lebih 45 menit kami berada di pos 3. Cukup lama. Trek setelah pos 3 luar biasa menanjak. Bahkan bisa dibilang sangat vertikal. Kami lihat dari bawah. Wow. Terlihat cukup mengerikan jika dibayangkan. Tak banyak bicara, kami jalan, sedikit merangkak. Pohon-pohon edelweis yang tak lagi berbunga memadati kanan dan kiri trek. Dan, Merapi masih gagah ketika kami menoleh ke belakang. Meskipun secara pasti, awan nimbostratus bergerak berkumpul, dan semakin membesar. Kami benar-benar harus bergegas.

Break di tengah tanjakan

Setelah tanjakan hebat kami lalui dengan waktu tempuh kira-kira 60 menit, kami break. Bebarengan dengan kelompok kami, ada kelompok dari Aceh yang beranggotakan sekitar 15 orang dan berjalan dengan jarak cukup jauh antara yang satu dengan yang lain. 

Ada 3 orang berjalan ke arah bawah. 2 pemuda, dan yang satu sudah cukup tua, rambutnya putih. Mungkin umurnya berkisar 50-an.

Sigap, salah seorang pendaki Aceh beranjak dan mengeluarkan hape dari sakunya.

'Pak, boleh foto bareng nggak, nih?'
Katanya ramah. Kemudian teman-temannya langsung memposisikan diri.

'Monggo, mas.' 

'Wah, biasanya cuma liat postingannya di IG, sekarang bisa ketemu langsung. Beruntung, ah.' 

Kami hanya bisa mlongo saja. Memangnya siapa, sih, orang tua ini? Bodohnya, kami meminta foto juga pada akhirnya. Ha ha ha.

__________________

15.00 WIB
Sabana 1, 2770mdpl




Camp ground. Akhirnya kami sampai di sabana pertama. Tempat favorit pertama bagi pendaki untuk mendirikan tenda. Matahari sudah tak nampak, nanti akan kuceritakan bagaimana rupa sabana 1, keburu hujan.

Camp Ground

Aku, Fatih, dan Izzul mendirikan 2 tenda dan mengatur tata letaknya agar aman dari angin maupun hujan, terlebih badai. Sementara cewek memasak. Para cowok ingin tahu, apakah mereka bisa memasak di tempat seperti ini dengan peralatan dan bahan yang terbatas. Sambil menunggu masakan matang, secara bergantian, kami berputar-putar sekitar sabana, mencari debu untuk tayammum, lalu sholat dhuhur yang di-jama' dengan ashar. Satu tayammum untuk sekali sholat wajib. Jadi setelah selesai sholat dhuhur, kami berkeliling lagi, bertayammum untuk sholat ashar.

Dan, jadi! Nasi, sop dengan sosis, mie, dan energen siap disajikan. Kami semua masuk ke tenda yang ditata berhadapan. Lalu dengan lahap, kami habiskan tanpa sedikitpun ada yang tersisa. 
Tenda kami mengeluarkan suara saat angin datang menyerbu. Kami bersantai di dalam tenda. Nglinting, menyeduh kopi, dan menunggu waktu sholat maghrib. 



Sebelumnya, kami menyiapkan kantung plastik besar yang diikat masing-masing ujungnya pada pohon kecil sehingga mulutnya terbuka. Jika memang hujan, maka kami akan mendapat tambahan persediaan air untuk wudlu maupun untuk bersih-bersih. Tapi sampai maghrib datang, awan hanya menitikkan sedikit airnya, -- dan kantung pun tak terisi.

Pukul 19.00 WIB kami semua sudah di dalam tenda lagi. Pintu tenda cewek sudah tertutup, langsung tidur. Izzul nampaknya sudah kelelahan dan langsung meringkuk di dalam sleeping bag. Aku dan Fatih nyangkruk dulu, menghabiskan kopi, memilin kedua tangan, menambah stok lintingan. Entah pukul berapa akhirnya aku dan fatih tidur.

___________________

Minggu, 12 November 2018
01.30 WIB

Semua hape sudah di-alarm pukul 01.30 wib. Kami keluar tenda, bergantian, untuk sholat maghrib dan isya'. Sama seperti tadi, jadi satu tayammum untuk sekali sholat wajib. Selagi ada yang sholat, yang lain berkemas untuk melanjutkan perjalanan.

1 carrier berisi SB, kamera, kompor, nesting, matras, serta 1 tas kecil berisi senter, madu, buku, gula jawa, dan peralatan yang lain sudah siap. Tubuh kami rapat diselimuti baju lapangan, jaket windproof, kupluk, masker, dan sarung tangan. Masing-masing sudah memegang alat penerangan. Lalu kami membuat formasi melingkar, berdoa.


03.00 WIB
Summit Attack

Izzul berjalan paling depan dengan tongkat dan tas kecil. Diikuti para cewek di belakangnya, lalu Fatih, dan aku sebagai sweaper. Trek awal setelah sabana 1 mirip dengan trek setelah pos 3; terjal, licin karena diguyur gerimis, dan lebih terbuka. Namun kurasa lebih ringan karena tenaga kami telah terisi, juga beban di pundak tidak seperti saat melewati pos 3. Kami berjalan cepat



03.25 WIB
Sabana 2, 2858 mdpl

Tepat 25 menit kami sampai di sabana 2. Kami tak begitu bisa dengan jelas melihat bagaimana rupa sabana 2 saat itu. Gelap. Ada banyak tenda berdiri disini, mungkin sekitar 7 atau lebih, tertata rapi di sisi kiri jalan. Dibelakangnya ada pohon-pohon yang tak begitu besar membentuk formasi seperti pagar, melindungi tenda dari angin. Di sebelah kanan, nampak samar hamparan rumput luas, dan melandai ke atas menuju sebuah jalan diantara 2 bukit.


Kami tak banyak mengobrol dan istirahat. Kami tak ingin kedinginan dan melewatkan momen matahari terbit. Amannya, cepat bergerak, cepat sampai, cepat turun

Kurasa suhu waktu itu tak begitu dingin. Efek musim hujan, mungkin. Angin juga jarang. Sejauh kami berjalan dari sabana 1 sampai setelah sabana 2, tak ada kendala sedikitpun. Trek setelah sabana 2 menuruni bukit. Vegetasinya berupa pepohonan edelweis di kanan atau kiri trek. Sayang mereka tak berbunga. Lalu jalanan menanjak, dan kami sampai di Pos Watu Lumpang yang ketinggiannya sama dengan sabana 2; 2858 mdpl. Kami berhenti sejenak disitu, meminum madu, air, dan mengembalikan nafas yang mulai sedikit tersengal. 



Watu Lumpang
Madu; Penambah stamina
Mulai dari sini, jalanan tanpa ampun menunjukkan gagahnya dari bawah. Tak ada pepohonan untuk berlindung dari angin, dan begitu terlihat menanjak. Kami lanjut jalan. Aku berjalan di depan, diikuti Yasmin, lalu Uhti, Isna, sedangkan Izzul dan Fatih di belakang. Entah pukul berapa, saat itu trek masih menanjak, kami mendengar adzan subuh dari bawah. Kami berhenti, lalu sholat, lihurmatil waqti


Sesaat setelah jalanan menanjak yang semakin ke atas semakin tanpa ampun, kami bertemu belokan ke kanan, berjalan di atas sebuah punggungan, tak begitu menanjak, dan ada pohon-pohon yang cukup untuk melindungi diri dari angin. Langit sudah cukup cerah dan menjelaskan pada kami bahwa mungkin sunrise akan abstain karena jauh di ufuk timur sana, awan-awan hitam memadati pandangan. 

Tak patah semangat, kami tetap jalan. Di depan, sebuah kayu lurus panjang menjulang dengan bendera merah putih di atasnya. Aku berlari,



Puncak Kentengsongo, 3142 mdpl
Gunung Merbabu via Selo, Boyolali
05.10 WIB, Minggu, 12 November 2018



 
Ini kedua kalinya aku bisa menapakkan kakiku pada tanah Trianggulasi. Bedanya dengan yang pertama, dulu aku berjalan sendiri melewati jembatan setan di trek via Wekas, dan berfoto sendiri di depan plakat Puncak Kentengsongo yang waktu itu putih tak nampak apa-apa karena kabut sedang merindukan gunung. Tapi saat ini, aku tidak sendirian. Bertemankan 5 orang yang tak lama kemudian menyusulku menapaki tanah tertinggi Kabupaten Boyolali ini, tanpa meninggalkan seorang pun di bawah. Semua sampai puncak! Dan sungguh, aku terharu.




Pada pengalaman pendakian sebelumnya, pada gunung dengan ketinggian di atas 2500 mdpl, lalu aku sampai puncak, selalu ada salah satu atau lebih anggota tim yang tak sampai puncak. Entah karena malas atau memang sudah tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan. Atau malah aku yang tak sampai. Di Merbabu saat via Wekas, misal. Atau saat di Semeru, yang mana kelompokku saat berangkat berjumlah 10 orang, namun 3 orang terpaksa tak sampai puncak. Begitu juga di Merapi, 3 orang tak sampai puncak. Saat di Welirang dan Sindoro, malah aku yang tak sampai atas. Oh! Beda lagi ketika di Arjuna, semua sampai puncak. Ya. Aku hampir lupa. Berarti, ini yang kedua, dimana aku dan semua teman kelompokku sama-sama bisa menikmati puncak. Bahkan setelah aku manaruh keraguan terhadap teman kelompokku, yang mana mereka tak begitu punya pengalaman pendakian, wanita pula. Bermodal semangat, kepercayaan, dan usaha tentunya, keraguanku terbantahkan.

________________

Selain bagiku dan Izzul, ini adalah puncak pertama mereka. Ada perasaan meluap-luap yang bisa kulihat jelas di wajah mereka. Tentu, tak ada yang lebih memuaskan daripada dapat mencapai puncak pertama dengan sukses dan tanpa kendala.

Uhti - Isna - Yasmin - Aku - Fatih - Izzul

Tapi, ya, saat itu aku akhirnya dicampakkan. Mereka berlima berpencar di puncak yang cukup luas itu untuk berfoto. Aku tolah-toleh mencari mereka. Yasudah, lah. Kuletakkan carrier, dan membuat minuman hangat. Lalu duduk-duduk saja menikmati aroma kopiku yang begitu hangat dan damai. 


Kopi





Hari minggu, puncak ramai sekali. Ada sekitar 5 tenda yang berdiri. Aku baru tahu, ternyata tak masalah mendirikan tenda di puncak Merbabu, kukira itu dilarang. Belum lagi, para pendaki lain yang ikut meramaikan puncak. Kami harus bergantian tempat hanya untuk berfoto saja. Dan yang mungkin disayangkan, puncaknya agak kotor, banyak sampah.





Dari puncak, kami bisa dengan jelas melihat gagahnya Merapi di sisi Tenggara dengan asap putih yang jarang yang terus keluar dari moncongnya. Dari arah timur, akhirnya matahari maksimal menyebarkan cahayanya dari balik awan-awan yang samar juga melingkari Gunung Lawu. Tak terbayang, ternyata trek dari sabana 1 terlihat jelas sampai atas. Jauh juga, ternyata. Nah, dari sisi yang berlawanan, Puncak Syarif dan Pemancar, yang mana juga termasuk jajaran puncak Merbabu, menyapaku dari utara. Dilengkapi Gunung Andong, Telomoyo, serta Ungaran yang tersenyum di belakangnya. Menoleh ke sisi barat, 2 kembar Sumbing dan Sindoro tak mau tak exist. Mereka terlihat begitu mesra dibalut awan.

Merapi di tenggara
Andong, Telomoyo, dan Ungaran




_________________

06.50 WIB

Kami sudah puas, dan juga dingin, sehingga kami berkemas, lalu kembali ke camp ground di sabana 1. 


Sepanjang perjalanan, kami semakin takjub, melihat kenyataan bahwa ternyata trek yang kami lalui tadi malam sangat indah! Sabana 2, terutama. Kami berhenti cukup lama disini untuk berfoto dan sedikit minum. 




Karena saat berangkat jalanan menanjak, ya otomatis, ketika turun, kami kesulitan berjalan tegak dan mantap. Sekali - dua kali kami terjatuh.


Di turunan sebelum sabana 1, aku baru menyadari, wajar saja para pendaki lebih suka mendirikan tenda di sabana 1.

08.10 WIB

Kami sampai di sabana 1. Tempat ini sungguh luas. Ada beberapa bukitan kecil dimana diatasnya banyak pohon-pohon khas tanaman puncak yang menggerombol membentuk pagar yang mana kita akan hangat jika mendirikan tenda di antaranya. Selain itu, dari situ kita bisa dengan jelas sekali melihat pemandangan Gunung Merapi di sisi selatan. Ditambah lagi dengan sunrise yang mungkin akan terlihat dari timur karena tak ada penghalang sama sekali.

Kami merebahkan tubuh sembarangan. Mencoba mengembalikan nafas yang tertinggal di jalan. Lalu beberapa diantara kami menyiapkan peralatan masak di luar tenda. Aku memindah flysheet agar tak panas. Niatnya ingin memasak nasi dan mie instan saja, tapi kemudian kami kebingungan, gas kami tinggal tetes terakhir. Wah.

'Wes kono awakmu karo Isna nggolek pendaki seng arep mudun, terus takon, menowo ono turahan gas. Terus dijak barter karo beras.'
Kataku pada Uhti.

'Isin, mas.'

'Halah. Ora opo-opo. Daripada ora sido mangan, lho.'

Mereka beranjak, akhirnya.

'Permisi, Mas. Mau nanya. Apa ada sisa gas, ya? Saya sama teman-teman kehabisan gas.

'Oh. Ada, Mbak! Sini, sini, duduk dulu, Mbak.'
Logat Sundanya ketara sekali, dan tidak hanya seorang saja yang bicara. Aku menyimak. Ternyata kelompok yang camp di belakang tenda kami.

Isna dan Uhti dibanjiri pertanyaan-pertanyaan bernada menggoda. Ya bagaimana, 2 cewek versus banyak cowok. Selesai sudah. Ha ha ha. 'Mbaknya dari mana?' 'Boleh minta gas, tapi harus makan disini dulu, mbak.' 'Nggakpapa, Mbak. Nanti disana makan lagi.' 'Ah, jangan tukar beras, mbak. Tukar nomor WA aja.

Uhti dan Isna kembali, membawa gas, dan membawa sepiring penuh bakwan. Bonus.

Bakwan Bonus

__________________

10.00 WIB

Kami berkemas setelah makan. Langit mulai dipenuhi awan. Tepat pukul 11.00 WIB, kami beranjak dari sabana 1. Kami berjalan cepat karena kabut sudah merapat dan air menitik jarang.


11.30 WIB
Pos 3

5 menit setelah kami sampai di pos 3, hujan mulai pecah. Kami memakai jas hujan, lalu langsung turun ke pos 2. Jalanan licin sekali, ditambah curam. Jadi sepatu sport seperti yang dipakai para wanita sedikit menyusahkan mereka saat berjalan. Dua langkah, jatuh terpeleset, kadang sampai terguling. 

Di pos 2, hujan semakin lebat. 12.10 WIB. Kami memilih untuk berteduh di shelter yang atapnya masih setengah jadi. Sisa snack kami makan, lalu susu satu botol kami habiskan disitu. Entah berapa lama kami berteduh. Hujan kami tunggu sampai benar-benar reda. 

Karena fisik kami sudah hampir mencapai batas lelahnya, kami berjalan cepat, sedikit berlari, dan langsung menuju basecamp. Di pos 1 kami tak berhenti.


14.55 WIB

Kami sampai di pintu gerbang Taman Nasional Gunung Merbabu. Sampah dari atas kami buang, kami laporan, lalu langsung ke basecamp

Sampah

Aku lelah. Lelah berjalan, lelah menulis juga. He he he.


15.10 WIB
Basecamp

Setelah mandi, berbenah, dan sholat, kami meluncur kembali ke Solo. 

Dengan penuh syukur, bahagia, dan selamat.


Malang, 20 Februari 2018
Alkholily

Komentar

Postingan Populer